Saat saya berpameran tunggal foto hitam putih dengan tajuk
“Negeri Salah Langkah” pada 2001 silam di CCF Bandung, Seno Gumira Ajidarma,
salah satu penulis yang memberikan catatan pada katalog memberi judul
tulisannya: “Rasdian dan Perpadanan”. Dalam coretannya, Mas Mira, demikian saya
biasa memanggilnya, menohok telak bahwa “rumus” memoret saya adalah perpadanan
antara satu dengan hal lainnya. Bisa dua hingga tiga hal (objek). Bahkan
beberapa “hanya”menunggu sesuatu yang melintas dan dirasa pas lalu memadankan
dengan latar yang sudah saya siapkan. Setidaknya ini lecutan yang saya rasakan saat
merasa besar kepala gegara berpameran tunggal.
… “Rasdian melihat
dunia ini sebagai perpadanan-perpadanan yang bisa tetap sepadan atau sebaliknya
saling berlawanan. Yang pertama mengesahkan, yang kedua menjungkir balikkan”.
…
“Contoh yang kedua
adalah foto yang memperlihatkan Presiden Habibie yang berpeci merangkul tiga
anak sekolah dalam poster kampanye “Aku Anak Sekolah”, sementara di depannya
anak-anak sekolah itu berpose dengan kostum dan hiasan peperangan. Anak-anak
dalam poster maupun dalam foto sama-sama tampak murni, justru karena itu
kewajaran menerima kekerasan menjadi hal yang kontradiktif dengan keberadaban
dalam semangat sekolah itu sendiri,. Apakah kita diajarkan untuk mencintai
kekerasan? Dalam foto ini berlangsung penjungkir balikkan.”, demikian tulisnya.
Saya sangat bersyukur saat berniat menerbitkan buku "Senjakala Kalijodo" (2017), Mas Mira berkenan kembali memberikan pengantar. Karena hanya
sorangan, tulisannya cukup panjang dan lumayan teoritis. Salah satu yang
membuat lega adalah bahwa foto saya dirasa tak lagi bermodal “perpadanan”,
artinya saya relatif berkembang, apalagi dalam rentang 15 tahun. Kalau begitu-begitu
saja kan malu. ☺
“Jika pada
2001 sang juru foto tampak mengarahkan dalam ironi dari kontras keberpadanan,
pada 2017 ini kontras keberpadanan, seperti menggusur-tergusur, dan sejenisnya
taklagi hadir dalam ketertampakan eksplisit, yang memungkinkan Pembaca masuk
lebih jauh sebagai Subjek-yang-Memandang, untuk memproses produksi maknanya
sendiri.”, pungkasnya.
Sesungguhnya perpadanan adalah hal yang jamak dalam
fotografi (memotret). Karena pada dasarnya (setidaknya) objek pemotretan
terbagi dalam tiga lapis: latar depan, tengah (tempat objek utama biasa
diletakkan, walau tak selalu), dan belakang. Kemudian ada juga yang
membingkainya lagi dengan pembagian (bidang) dalam dua sisi: kanan-kiri atau
atas-bawah.
Semua pendekatan (pembagian) tersebut di atas mesti berangkat
dari kesadaran akan membangun sebuah cerita. Jika objek utama diletakkan di B
(latar tengah), apa fungsi dan relasinya dengan A (latar depan) dan C (latar
belakang)? Saling menguatkan atau berlawan secara kontras (perbandingan)?
Mempunyai kesamaan bentuk atau arti? Atau sekadar pemanis estetika belaka?
Purwokerto, 12 Mei 2017. |
Demikian juga yang demen membagi dalam dua bidang, apakah
yang kiri dan kanan, juga atas-bawah, diniatkan dengan relasi tertentu? Atau
mirip dengan pendekatan teknik sanding dalam photo story untuk mencari efek (tafsir) ketiga? Tafsir pertama di
bagian atau sisi A (kiri), kedua didapat dari bagian B (kanan) sedang tafsir
(efek) ketiga didapat dari penyandingan atau relasi dari dari dua sisi (A dan
B) tersebut.
Pada konteks ini sesungguhnya kita akan melintas pada wilayah
tafsir, selepas kendaraan estetika. Tak lagi berbincang ini apa(?) dan betapa
indahnya, tapi menyelam pada lautan pertanyaan ini tentang apa(?). Pendekatan
semacam ini bisa dimanfaatkan dalam membaca (tafsir) visual sebuah karya, pun
dalam memroses secara cepat relasi objek yang akan kita rekam.
Bagaimana dengan foto berikut?
Tanpa keterangan sama sekali, foto tersebut hanya memberikan
informasi terbatas; Ada seorang yang semestinya
perempuan karena berkerudung dan (sepertinya)
dewasa sedang memotret tiga remaja yang bisa
jadi kerabatnya yang sedang bermain di pantai. Lokasinya persisnya tak
semua orang tahu, atau ada yang mengenalinya dengan pasti?
Sebuah foto yang lengkap (informatif) sepertihalnya dalam
foto jurnalistik dan dokumenter tak bisa sekedar “Biarkan Foto Bicara”, karena
tanpa teks bisa jadi akan kehilangan konteks. Berpotensi menjadi liar dalam tafsir
atau interpretasi. Kecuali kalau memang diniatkan seperti karya lukis misalnya
yang kadang hanya dijuduli dangan “tanpa judul” atau sekedar karya 1, 2, 3 dan
seterusnya. Itupun jangan dilupakan bahwa biasanya tetap ada teks yang
menyertainya dalam bentuk pengantar oleh sang seniman dan/atau kurator.
Untuk foto di atas jika saya tambahkan informasi bahwa itu
di sebuah pantai di pesisir Barat kota Banda Aceh dan lokasi itu adalah bekas
terdampak Tsunami 2004 apakah ada tafsir baru hadir? Mari kita diskusikan Sabtu
besok selepas HuntBar di Kota Tua.. ☺
Nah..berikutnya sebagai bekal obrolan juga mari periksa isi
folder foto di komputer masing-masing, sejauh mana padu padan kita? Apa yang
sesungguhnya kita sampaikan dalam selembar atau bahkan berterabyte foto yang terekam? Sudah padukah padu padan itu?
* Tulisan ringkas ini diniatkan terutama sebagai pemantik diskusi
pada acara berikut:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar