Kamis, 03 Agustus 2017

Padu Padan Dalam Kedipan Rana*

Saat saya berpameran tunggal foto hitam putih dengan tajuk “Negeri Salah Langkah” pada 2001 silam di CCF Bandung, Seno Gumira Ajidarma, salah satu penulis yang memberikan catatan pada katalog memberi judul tulisannya: “Rasdian dan Perpadanan”. Dalam coretannya, Mas Mira, demikian saya biasa memanggilnya, menohok telak bahwa “rumus” memoret saya adalah perpadanan antara satu dengan hal lainnya. Bisa dua hingga tiga hal (objek). Bahkan beberapa “hanya”menunggu sesuatu yang melintas dan dirasa pas lalu memadankan dengan latar yang sudah saya siapkan. Setidaknya ini lecutan yang saya rasakan saat merasa besar kepala gegara berpameran tunggal.

… “Rasdian melihat dunia ini sebagai perpadanan-perpadanan yang bisa tetap sepadan atau sebaliknya saling berlawanan. Yang pertama mengesahkan, yang kedua menjungkir balikkan”. …

Contoh yang kedua adalah foto yang memperlihatkan Presiden Habibie yang berpeci merangkul tiga anak sekolah dalam poster kampanye “Aku Anak Sekolah”, sementara di depannya anak-anak sekolah itu berpose dengan kostum dan hiasan peperangan. Anak-anak dalam poster maupun dalam foto sama-sama tampak murni, justru karena itu kewajaran menerima kekerasan menjadi hal yang kontradiktif dengan keberadaban dalam semangat sekolah itu sendiri,. Apakah kita diajarkan untuk mencintai kekerasan? Dalam foto ini berlangsung penjungkir balikkan.”, demikian tulisnya.

Saya sangat bersyukur saat berniat menerbitkan buku "Senjakala Kalijodo" (2017), Mas Mira berkenan kembali memberikan pengantar. Karena hanya sorangan, tulisannya cukup panjang dan lumayan teoritis. Salah satu yang membuat lega adalah bahwa foto saya dirasa tak lagi bermodal “perpadanan”, artinya saya relatif berkembang, apalagi dalam rentang 15 tahun. Kalau begitu-begitu saja kan malu. ☺

“Jika pada 2001 sang juru foto tampak mengarahkan dalam ironi dari kontras keberpadanan, pada 2017 ini kontras keberpadanan, seperti menggusur-tergusur, dan sejenisnya taklagi hadir dalam ketertampakan eksplisit, yang memungkinkan Pembaca masuk lebih jauh sebagai Subjek-yang-Memandang, untuk memproses produksi maknanya sendiri.”, pungkasnya.

Sesungguhnya perpadanan adalah hal yang jamak dalam fotografi (memotret). Karena pada dasarnya (setidaknya) objek pemotretan terbagi dalam tiga lapis: latar depan, tengah (tempat objek utama biasa diletakkan, walau tak selalu), dan belakang. Kemudian ada juga yang membingkainya lagi dengan pembagian (bidang) dalam dua sisi: kanan-kiri atau atas-bawah.


Semua pendekatan (pembagian) tersebut di atas mesti berangkat dari kesadaran akan membangun sebuah cerita. Jika objek utama diletakkan di B (latar tengah), apa fungsi dan relasinya dengan A (latar depan) dan C (latar belakang)? Saling menguatkan atau berlawan secara kontras (perbandingan)? Mempunyai kesamaan bentuk atau arti? Atau sekadar pemanis estetika belaka?

Purwokerto, 12 Mei 2017.

Demikian juga yang demen membagi dalam dua bidang, apakah yang kiri dan kanan, juga atas-bawah, diniatkan dengan relasi tertentu? Atau mirip dengan pendekatan teknik sanding dalam photo story untuk mencari efek (tafsir) ketiga? Tafsir pertama di bagian atau sisi A (kiri), kedua didapat dari bagian B (kanan) sedang tafsir (efek) ketiga didapat dari penyandingan atau relasi dari dari dua sisi (A dan B) tersebut.


Pada konteks ini sesungguhnya kita akan melintas pada wilayah tafsir, selepas kendaraan estetika. Tak lagi berbincang ini apa(?) dan betapa indahnya, tapi menyelam pada lautan pertanyaan ini tentang apa(?). Pendekatan semacam ini bisa dimanfaatkan dalam membaca (tafsir) visual sebuah karya, pun dalam memroses secara cepat relasi objek yang akan kita rekam.

Bagaimana dengan foto berikut?


Tanpa keterangan sama sekali, foto tersebut hanya memberikan informasi terbatas; Ada seorang yang semestinya perempuan karena berkerudung dan (sepertinya) dewasa sedang memotret tiga remaja yang bisa jadi kerabatnya yang sedang bermain di pantai. Lokasinya persisnya tak semua orang tahu, atau ada yang mengenalinya dengan pasti?


Sebuah foto yang lengkap (informatif) sepertihalnya dalam foto jurnalistik dan dokumenter tak bisa sekedar “Biarkan Foto Bicara”, karena tanpa teks bisa jadi akan kehilangan konteks. Berpotensi menjadi liar dalam tafsir atau interpretasi. Kecuali kalau memang diniatkan seperti karya lukis misalnya yang kadang hanya dijuduli dangan “tanpa judul” atau sekedar karya 1, 2, 3 dan seterusnya. Itupun jangan dilupakan bahwa biasanya tetap ada teks yang menyertainya dalam bentuk pengantar oleh sang seniman dan/atau kurator.

Untuk foto di atas jika saya tambahkan informasi bahwa itu di sebuah pantai di pesisir Barat kota Banda Aceh dan lokasi itu adalah bekas terdampak Tsunami 2004 apakah ada tafsir baru hadir? Mari kita diskusikan Sabtu besok selepas HuntBar di Kota Tua.. ☺

Nah..berikutnya sebagai bekal obrolan juga mari periksa isi folder foto di komputer masing-masing, sejauh mana padu padan kita? Apa yang sesungguhnya kita sampaikan dalam selembar atau bahkan berterabyte foto yang terekam? Sudah padukah padu padan itu?

* Tulisan ringkas ini diniatkan terutama sebagai pemantik diskusi pada acara berikut:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar