Mengalir sampai jauh di Kereta Api Bengawan. :) |
Markas jurnalis independen itu cukup besar, apalagi kalau untuk sekedar menumpang tidur dan nampaknya itu yang seringkali terjadi. Saat saya sampai ada seorang aktivis dari Jakarta yang sudah beberapa hari disana untuk penelitian di pesisir Selatan Jawa. Melahirkan obrolan yang mengalir ke beragam topik dengan tak lupa mendoan dan pisang kipas, terhidang seiring kopi. Penganan ini disponsori oleh Bu Lurah Logawa Dian Aprilia.
Keesokan harinya kami dijamu Kang Reza GO, salah satu juri juga, mampir ke Curug Bayan. Kulakan oksigen judulnya. Karena sebelumnya sudah sarapan gudeg di Pasar Manis jadilah hanya menyeruput teh, dan kopi susu sebagai penghangat. Hujan kembali mengguyur saat meluncur ke lokasi penjurian.
Disana sudah hadir Mas Andre, dan dua juri dari Bappeda. Diiringi hujan yang kian deras penjurian dimulai. Foto yang berjumlah 320 dari 91 fotografer ditampilkan keseluruhan secara cepat terlebih dahulu. Lalu kami meminta juri dari internal untuk memberikan arahan tentang kriteria foto yang dicari dan adakah kiranya foto yang tidak pas dengan tema. Saya menanyakan tentang pembangunan double track oleh KAI, apakah itu termasuk? Karena secara kuantitas dan tampilan cukup mencolok dan ternyata karena lokasi proyek di Banyumas bisa masuk dalam tema lomba walau itu proyek pemerintah pusat. Dengan argumentasi bahwa efeknya akan dirasakan oleh warga.
Penerjemahan tema bahkan secara spesifik seperti ini untuk mempermudah kerja penjurian dan jika ada semacam komplain di kemudian hari ada alasan yang kuat dari penyelenggara dan juri tentunya. Idealnya lagi jika gambaran apa yang masuk (atau tidak) dalam tema dijelaskan di pengumuman lomba.
Kira-kira demikianlah.. |
Berikutnya dijumlah foto-foto yang paling banyak dipilih kelima juri, keempat juri, dan seterusnya. Jika foto yang dipilih kelima juri sudah melebihi jumlah pemenang maka foto-foto ini yang akan dinilai ke babak berikutnya. Jika banyak bisa dinilai kembali dengan gaya tabel seperti sebelumnya atau pemberian skor oleh juri untuk masing-masin foto lalu dijumlahkan nilai akhirnya.
Mayoritas foto menerjemahkan “pembangunan” secara verbal, serba fisik, dan kasatmata. Padahal bisa saja terkait SDM seperti pendidikan dan kesehatan. Beberapa bahkan mengirim foto sebuah bangunan yang nampak sekali baru selesai dibangun, begitu saja tanpa aktivitas. Jadi seperti brosur perumahan. ☺ Ada juga yang lebih cermat dengan membuat perbandingan “lama dan baru” pada sebuah jembatan penghubung desa. Sayangnya eksekusi secara teknis belum maksimal, tersandung hal mendasar persoalan pencahayaan. Terkait hal ini bahkan ada yang mengirim foto under exposure. Duh..
Apapun, teknis (pemotretan) adalah kendaraan untuk menyampaikan ide. Termasuk jangan lupakan waktu pemotretan jika terkait bangunan atau taman misalnya. Karena tentu akan berpengaruh pada jatuhnya cahaya, bayangan, detail, kontras, dan warna langit sebagai latar.
Ada satu kasus menarik saat ada sebuah foto yang masuk final kategori umum terpaksa didrop lewat kejelian salah satu juri. Foto yang menampilkan anak-anak yang sedang bermain di sebuah infrastruktur pengairan, setelah diperbesar (zoom in) tangannya mengacungkan jari tengah. Duh..kids jaman now. Akhirnya foto ini bahkan tak mungkin ikut tampil dalam pameran yang dicadangkan untuk 30 foto terpilih. Kejelian sang juri juga musti menular pada sang fotografer saat memotret atau akan mengirimkan foto untuk lomba dengan tema tertentu.
Untuk kategori pelajar nampak sekali bahwa kawan-kawan muda ini belum terlampau siap berkompetisi. Foto yang masuk ke final hanya 5 untuk mencari 4 pemenang dari 29 peserta dengan total 76 karya. Pertarungan kurang seru. Bahkan ada yang fotonya terpaksa didrop dan ganti saat final karena setelah diperbesar pecah. Ternyata ukurannya memang kecil dan ini menyalahi syarat soal ukuran foto yang musti dikirim. Entah memang itu ukuran aslinya, diperkecil untuk memudahkan pengiriman, atau ketidakpahaman soal aturan lomba. Satu lagi ada aroma dijepret atau diedit dengan (aplikasi) telepon genggam (HP). Bukan tak boleh memakai HP, tapi taat prasyarat itu kudu, karena judulnya adalah lomba.
Saya usulkan ke panitia jika berikutnya kategori pelajar akan tetap digelar musti ada penyiapan dini agar potensi mereka bisa dibangkitkan lebih maksimal. Misal lewat tur ke sekolah-sekolah dengan judul sosialisasi lomba lewat pelatihan foto berkala dan berkelanjutan. Termasuk mengundang pihak sekolah saat pengenugerahan pemenang agar ada perhatian pada siswanya yang berprestasi dan terhadap fotografi.
Mewakili dewan juri saya menyerahkan hasil penjurian kepada Bapak Eko Prijanto, Kepala Bappeda didampingi perwakilan juri Mas Andre (kiri) dan Kang Reza GO. |
Semoga sebagai sebuah proses, termasuk catatan sederhana yang mencoba mengambil secuil peran ini, menjadi pembelajaran bersama. Bagi penyelenggara, peserta, terutama saya pribadi. Mari terus berproses dengan gembira. ☺
* Terima kasih untuk kawan-kawan KFB, Kelompok Logawa, AJI Purwokerto, dan KedaiKoe untuk segala keramahtamahan selama di Purwokerto. Juga kawan-kawan yang berkenan hadir saat Juguran selepas penjurian. ☺