Dalam proses belajar bagaimana cara membuat foto yang bagus?
Lebih kurang pertanyaan semacam ini selalu muncul dalam suatu seminar atau diskusi.
Biasanya nongol saat obrolan santai jeda kopi atau seusai acara, bukan saat
sesi tanya jawab. Seperti selepas acara Huntbar yang diadakan HMJ Polimedia
Jakarta di Kota Tua kemarin, di sela sesi wefie
ada peserta yang mengampiri dan berbicang ringan.
|
Terima kasing Bro Ardiles Akyuwen untuk portrait keren ini.. |
Jawaban yang saya berikan tetap sama dan normatif, dari
ekspresi wajahnya sepertinya nampak ketidakpuasan.
Yaa..kalau jawaban macam
itu, cuma harus rajin motret, guwe juga
ngarti kalee.. ☺
Karenanya saya tambahkan dengan usulan agar membentuk kelompok hunting foto dan
diskusi kecil. Selain sebagai rekanan dalam menjaga elan pemotretan, juga bisa
saling memberikan evaluasi. Syukur-syukur ada mentor yang bisa membimbing
secara berkala dan intens. Agar terpantau pencapaian dan pekerjaan rumah
selanjutnya.
Saya beruntung karena mengenal fotografi saat belajar formal
Desain Grafis sehingga ada guru yang bisa direcokin dengan beragam pertanyaan. Saat
itu ada Pak Risman Marah yang dengan sabar mengajari hal-hal sedari dasar seperti
metering. Kemudian ada Mas Roy Suryo,
yang kemudian hari menjadi Menpora itu, yang bahkan mengantar saya membeli
kamera ke Artha di Jalan Solo. Dari keduanya saya juga belajar memotret dan
memotong kostum sang model. ☺
Selanjutnya saat melanjutkan studi di jurusan Fotografi ISI Yogyakarta,
selain di kampus, saya digembleng Mas Edial Rusli di Padepokan Gowongan, rumah
klasik yang jadi markas anak nongrong jaman itu. Disini saya dicecar agar
memotret rapi dan mengawasi pencahayaan yang ada. Hasil jepretan kenyang
dicoret-coret spidol untuk mengajari komposisi yang pas. Juga belajar studio
dengan Pak Johnny Hendarta dan Pak Herry Gunawan serta memahirkan Komposisi lewat
Pak S. Setiawan. Bahkan nama terakhir tersebut membantu saya mencarikan lensa Nikon
20mm.
Berikutnya oleh Mas Edial saya dititipkan ke Bang Rama Surya
di Patangpuluhan, ini rasanya tingkatan belajar terberat. Pada fase ini saya sudah
semester akhir akhir namun seolah belajar dari dasar, dilatih untuk berlatih cermat
previsual, tafsir karya, selain
belajar giat memroses foto hitam putih analog. Kesemua proses belajar dengan para guru
tersebut sangat berpengaruh kini.
Jika musti dirangkum menjadi tips-trik rasanya menjadi tak
mudah, butuh proses seiring keseriusan. Walau cara belajar generasi kini relatif
jauh lebih mudah dan cepat dengan banyaknya sumber pembelajaran, salah satunya
adalah raksasa internet. ☺ Lha wong mahasiswa sekarang dengan
mudah konsultasi lewat WA, yang mungkin saja ia lakukan sambil ngemil dan ngupil.
Bedanya jika harus belajar informal atau otodidak adalah
menjaga intensitas diri. Belajar mandiri tanpa motif dan semangat kuat akan
berlarut belaka tanpa pencapaian yang terukur. Kecuali jika memang sekedar hobi
atau iseng yang kadangkala jadi alasan pelarian akan ketidakseriuan.
“Guwe kan cuma
iseng..”
“Guwe kan cuma hobi..”
Alibi mujarab jika diajak membahas dengan serius sebuah topik
atau saat diminta “mempertanggungjawabkan” karyanya.
Pertanyaan lain yang biasanya nongol adalah perkara alat. Saya
juga sempat berbincang seusai acara tentang hal ini yang merupakan pertanyaan
lanjutan dari sesi tanya jawab. Terkait kebiasaan pemakaian (focal) lensa dan
pertimbangan untuk memakai mirrorless.
Saya sejak akhir era 90an terbiasa meringkas alat. Terutama
saat belajar dengan Bang Rama Surya dan dibiasakan keluyuran hanya dengan lensa
50mm. Kemudian hingga kini terbiasa dengan kombinasi 28mm, 50mm, dan 90mm. Ini
pilihan personal belaka terkait kebiasaan dan kebutuhan soal pembingkaian saat
pemotretan. Ada kawan yang lebih memilih lensa “tengah” 35mm berduet dengan
60mm micro. Jika hanya (harus) membawa satu lensa saya cenderung untuk membawa
50mm. Sebagai lensa normal, focal ini cukup yahud dibawa “maju-mundur”.
Tetapi jika memakai mirrorless yang ukurannya secara umum
relatif mungil membawa beberapa lensa sesungguhnya masih cukup ringan. Dalam tas
pinggang yang saya bawa sehari-hari termuat tiga lensa tersebut di atas. Mirrorless
membuat rajin berkamera, bereaksi lebih cepat dan tak segan membidik. Soal pemilihan
merk kembali ke kebutuhan, performa, selera warna dan tentu isi kantong. Kalau
memang dengan sensor kecil dirasa cukup tentu tak perlu pakai full frame yang “full”
pula harganya.
Kelanjutan pertanyaan soal alat adalah pengoperasian. Ada yang
bertanya bagaimana supaya tak kehilangan momen terkait setting kamera. Aturlah
se-auto mungkin, jawab saya. Pilihan saya jatuh pada opsi A (AV) atau S (TV),
dengan kecenderungan pilihan pertama. Tinggal kemudian bermain kompensasi. Kamera
sekarang sedemikian cerdas, titik fokus bisa kita perintahkan secara otomatis
untuk mengunci subjek yang dekat dengan kamera. Di sisi kiri, tengah, atau
kanan bingkai. Bahkan bisa diiumbuhi dengan AF
Tracking.
Demikian pula ISO bisa diperintahkan bekerja di rentang tertentu,
misal 200-1600, jika kita khawatir noise di ISO yang lebih tinggi. Sehingga ISO
akan secara dinamis menyesuaikan kondisi pencahayaan tempat pemotretan. Kecuali
jika ada pertimbangan khusus ingin melulu memakai ISO tertentu, kita tinggal
setting secara manual.
|
Nah, salah satu yang tak bisa diotomatiskan adalah metering mode. |
Perkara teknis memang
hal medasar yang kudu dibangun dengan baik. Sebagai pondasi dan kendaraan dalam
menyampaikan serta menghantarkan gagasan.
Selepas teknis ada pertanyaan, mana yang lebih bagus sebuah
pemotretan dengan framing (previsual)
terencana atau spontan kemudian dibuat cerita atau konsepnya? Keduanya sama
baik, karena yang spontan sekalipun sesungguhnya sudah ada intensi saat rana
dijepret dalam waktu singkat. Tingkat keberhasilan tentu kembali ke lama
latihan atau jam terbang. Walau pada bagian “dicari cerita atau konsepnya belakangan”
tak selalu bisa pas atau berhasil. Kadang terasa otak-atik atau cocoklogi, alias dipas-pasin sesuka hati.
Itulah mengapa ada obrolan lanjutan tentang seorang peserta
melihat pameran dan merasa tak nyambung saat membaca tulisan pengantar (konsep)
dengan karya yang terpajang. Bahkan obrolan (konfirmasi) dengan sang seniman
masih juga tak memuaskan.
Ada beberapa hal yang perlu dicermati disini:
1. Memang PR bersama, tak semua fotografer bisa dengan fasih
menjelaskan gagasan, baik secara lisan maupun tulisan.
2. Tak sedikit pula pemirsa yang datang memandang tidak
dengan bekal yang memadai. Apalagi jika sudah tersimpan niatan (selalu)
menghakimi. Sehingga memang ada kesenjangan nan timpang pada dua hal tersebut.
Bagaimana supaya setidaknya ada keseimbangan? Oya..hal ini
bukan untuk menyeragamkan apalagi memaksakan pandangan salah satu pihak ya..tetapi
bagaimana foto sebagai sebuah teks terbaca dan terjadi dialog yang konstruktif
di dalamnya. Ibarat kata, jika membaca berita koran yang relatif verbal saja
repot, bagaimana membaca karya sastra? Untuk membaca juga ada ilmunya bukan? ☺
Bisa ada beberapa hal diupayakan:
1. Yaa..mau tak mau fotografer kudu mencoba memperbaiki
bacaan lalu tulisan. Sehingga komunikasi menjadi lebih lancar sebagai
komunikator. Jangan lupa, bacaan lalu tulisan.
2. Demikian juga komunikan membawa bekal yang memadai
termasuk membuka diri untuk terus berproses dalam membaca setiap gejala dan
pendekatan visual yang kian beragam. Membiasakan datang dalam diskusi karya
adalah salah satu caranya.
3. Foto diiringi teks dan diskusi untuk membicangkannya. Dibarengi
peran kurator atau kritikus sebagai jembatan demi keterbacaan karya kemudian.
Sehingga foto sebagai teks tak hanya dibaca, dihakimi secara
hitam putih: bagus-jelek, mantabs-gitu doang, asyik-cemen dan semacamnya secara
semena-mena. ☺
Apalagi
jika berhenti di tataran teknis belaka.
Lha terus tulisan sepanjang ini mana bahasan street-nya?
Ah..soal itu ente pade
ude ngarti kalee.. ☺
|
Terima kasih untuk kawan-kawan yang sudah berkenan hadir.
Terutama kepada HMJ Fotografi Polimedia sebagai pemangku hajat. :) |