Sabtu, 26 Agustus 2017

Kawan dan Kamera Terbaik

Semakin dewasa dan menua biasanya kawan bermain seperti masa kanak-kanak akan jauh berkurang kuantitas dan intensitasnya. Tentu saja menjadi hal yang normal tatkala dunia dewasa kian dipenuhi banyak urusan, keluarga dan kerja salah dua yang utama. Terlebih yang tinggal di kota besar seperti Jakarta yang membuat jarak menjadi jauh karena waktu tempuh.

Saat belajar hingga bangku kuliah kita bisa runtang-runtung keluyuran kesono-kemari berjamaah. Teringat dulu saya dan beberapa kawan biasa berhujan-hujan dan nyolong mangga di pinggir jalan yang terlewati. Hiburan di sela tugas kuliah yang mblengeri; salah duanya adalah sketsa dan gambar bentuk.

Kini kontak dengan kawan lama dari SD hingga kuliah terhubung lewat media sosial dan group WA. Kebanyakan jadi perbincangan basa-basi dan ramai saat akan ada kopdar atau reunian. Banyak yang tergabung tapi hanya segelintir orang, itu-itu saja, yang bercuit. Bahkan ada yang itu-itu saja postingannya: ajakan sholat Shubuh berjamaah. Sungguh konsistensi yang luar biasa dan tentu bagus. Membuat kompetisi untuk saling mendahului membangunkan dan mengingatkan. ☺

Ada lagi yang tak pernah kehabisan bahan renungan. Kiriman ke group selalu diawali dengan “renungan pagi/siang/malam” tergantung waktu. Kadang diselingi renungan petang, sudah seperti nama acara berita di stasiun televisi. Mari merenungi diri sepanjang waktu.

Soal kecepatan viralnya peristiwa, group WA berani diadu dengan breakingnews portal media. Lengkap dengan video laporan langsung dari tempat kejadian. Bahkan keberanian mendekati peristiwa pun tak kalah militan dibanding reporter televisi. Mereka ini terlatih langsung di lapangan tanpa banyak teori reportase di dalam kelas jurnalistik. Jangan lupakan juga gelindingan bola salju hoax yang juga menyertai di satu sisi.

Akhirnya, pada praktiknya, beberapa group WA disunyikan. Tergabung karena “jiwa korsa” dan tentu sungkan jika “left” karena dianggap mengkhianatinya dan beresiko diculik.

Kamera terbaik adalah yang ada di tanganmu.
Baik dari membeli atau meminjam.
Syukur-syukur awalnya diminta nyobain dengan gratis. 
Kawan yang kemudian terseleksi dan masih terus runtang-runtung ya itu-itu saja, walau sesekali ada figuran yang nimbrung. Yang masih saling bantu saat pameran, menengok saat salah satu “anggota” melahirkan, dan diskusi beragam hal dari tanaman hingga video 4K (bukan 3gp lagi).


Di balik itu semua ada kawan saling pijit dan kero’an terbaik, sekaligus kawan keluyuran terbaik, kawan berduka terbaik dan kawan nonton terbaik, bahkan untuk film yang ia kurang suka. Serba terbaik. Ada satu lagi yang khusus untuk saya: ia juga kawan beli kamera terbaik, karena doi menteri keuangannya. Hehehe..terima kasih selalu ya Neng..☺

Jumat, 25 Agustus 2017

Catatan Biker

“Ngajar apa Pak?”, saat itu kami tinggal berdua dalam lift dan ternyata menuju ke lantai yang sama, untuk undangan rapat awal semester sebuah kampus.

“Fotografi Pak”, jawab saya singkat dengan imbuhan seulas senyum sopan.

“Wah..saya difoto dong..”, sahut Bapak pengajar Creative Writing yang sudah lumayan sepuh itu sambil berpose malu-malu mengakrabkan diri sambil melintas keluar karena kami sudah sampai tujuan.

Dari meja registrasi nampak ruangan masih lengang, hanya ada empat orang yang sedang berbincang hangat. Nuansanya seperti reunian para kawan lama. Rapat dosen seperti ini memang seringkali sekaligus jadi ajang lepas kangen dengan personil yang komplit. Karena kalau perkuliahan sudah mulai biasanya akan terpisahkan oleh jadwal (hari mengajar) yang bhineka. ☺

Ini arca di sisi jalan Ciputat yang jadi langganan jepretan kamera.
Seringkali, beda hari ia menampilkan gaya yang berbeda pula.
Ini saat menutup dadanya yang terbuka dengan sapu.  
Saya memang berangkat lumayan awal karena masih berhitung rute dan waktu tempuh. Ini kampus kedua yang lumayan jauh dari rumah di Tanjung Barat, setelah sebelumnya sempat adol abab di President University nun di Cikarang sana sekitar tujuh tahun lalu. Sama-sama “antar kota-antar propinsi” macam bis yang kadang saya tumpangi kalau mudik. Yang pasti menambah angka kilometer kendaraan dengan pesat dan badan masuk angin sesampai rumah, hehehe..

Sebagai anak baru saya memilih duduk agak ke belakang, di pinggir dekat pintu masuk. Agar bisa mengamati situasi secara keseluruhan dan sigap bereaksi jika tetiba ada serangan dari kaum ultra kiri atau kanan,  misalnya. Haiyah.. Sehingga saat kawan yang lebih senior mengajar disitu nongol saya bisa dengan segera menyambutnya dengan jabat tangan hangat.

Masing-masing kami diberikan kontrak kerja yang berlaku setahun untuk ditandatangani. Diimbuhi penganan maknyus dalam kotak sedang yang kemudian saya jadikan oleh-oleh dan amplop uang transport. Weh..kalau jaman jadi wartawan tak berani seterbuka ini dengan amplop.. Ooopss..

Wee..lha..ono amplope..”, celoteh kawan yang saya tunggu dan masih berwajah kantuk itu sembari nyengir. Ia masih “berdinas aktif” di sebuah media. Kami sama-sama dipasang mengajar di program studi Jurnalistik.

Sempat pula ia berbisik guyon, “Kenapa namanya (matakuliah) (pakai imbuhan) “Digital” Photography?” “Karena sekarang sudah bukan era analog lagi”, jawab saya ringan. Bahkan konon ada titipan untuk memasukkan materi memotret dengan handphone. Weh..hehehe.. Wajib pakai merk tertentu? IPhone barangkali mau endorse?

Sependek ingatan dan pengalaman mengajar sejak 2001, ini satu dari sedikit rapat dosen yang menarik, setidaknya ada hal yang jarang saya temui di kampus lain. Selain membahas hal teknis dari urusan honor, absensi, penelitian dan pengabdian, IT, juga yang bagus adalah pembekalan karakter yang diinginkan kampus. Salah satunya terkait berita hoax, terlebih karena ini di lingkungan Fakultas Ilmu Komunikasi, juga soal penghargaan akan keberagaman yang harus dihayati dan didengungkan oleh para pengajar. 

Bukanya anti atau tidak boleh adanya perbedaan, tetapi jika harus dibawa ke kelas musti dalam koridor diskusi yang sehat. Komitmen soal gaya dan warna kampus ini yang menurut saya sungguh menarik. Sikap yang harus tegas untuk bekal mahasiswa sebagai agen dan mata panah perubahan. Berat..berat..

Yang juga tak kalah berat seru adalah jalan pulang dengan kondisi sinar matahari tarik pisan bin kentheng-kentheng bikin pala puyeng. Berikut bonus debu yang dihantarkan angin kemarau yang terasa menahan laju. Maklum saya dan seorang kawan pengajar lain yang satu tim sama-sama biker. Nyemplak motor.

“Kalau naik mobil gak gaya Mas, malah mati gaya karena macet”, selorohnya.

“Iya, mobil kalau bocor juga gak bisa dituntun”, ini jawaban andalan yang ilmunya saya curi dari dosen saya dulu yang lama setia nuntun Yamaha Alfa.

Apalagi kalau yang bocor ban belakang Vespa. Wis..dunia serasa milik berdua..itu kalau sampeyan boncengan dengan istri tercinta. Lha kalau sorangan dan dibonusin olor (kabel) kopling putus? 

Rabu, 23 Agustus 2017

Kolaborasi Lintas Batas

Tajuk itu diangkat untuk menandai milad Kamera Lubang Jarum Indonesia (KLJI) ke 15 pada 17 Agustus 2017. Dipusatkan di Museum Seni Rupa dan Keramik, di kawasan Kota Tua Jakarta mulai 13-17 Agustus kemarin. Tumben pada kesempatan ini saya diberi ruang untuk turut terlibat, padahal saya bukan pelaku KLJ, hanya memang pada awal belajar fotografi kebetulan melewati era analog. Kang Ray Bachtiar Drajat, sang kuncen KLJI, beberapa hari sebelumnya, selewat tengah malam mengundang untuk turut berpameran dan diskusi terkait photo story. Nah..celah inilah yang memberi saya ruang untuk nyelip. ☺ Nuhun Kang..
Bentang Kenangan (2017)
Lalu pertimbangan berseliweran, untuk pajang foto yang mana, termasuk dari beberapa kawan yang saya tanya. Sempat terpikir foto perjalanan ke Mentawai, juga liputan tentang masyarakat adat Bonokeling di Banyumas yang sudah saya kerjakan selama setidaknya tiga tahun tahun.  

Akhirnya pilihan jatuh pada story tentang rumah tinggal orang tua, tempat saya dilahirkan dan tujuan mudik sejak merantau selepas sekolah dasar hingga kini tinggal di Jakarta. Foto-foto itu sebagian kecil dari kumpulan yang saya rekam sejak 2014 saat sesekalu pulang kampung. Seperti memunguti serpihan-serpihan kenangan. Lebih ringan dan keseharian sehingga barangkali memberi ide pada pemirsa untuk mulai merekam dan membangun cerita dari lingkungan terdekat. Tak kudu berpatokan tempat eksotis atau peristiwa dengan isu yang besar yang barangkali sulit untuk diakses. Foto foto “garda belakang” atau tegangan (sangat) rendah kalau ikut terminologi Bang Erik Prasetya dalam buku On Street.

Kang Ray di tengah persiapan pameran.
Membuat bangunan cerita dengan jumlah foto lebih dari satu butuh pembiasaan. Jamaknya, kita berbelanja foto untuk mencari foto (tunggal) terbaik. Sehingga saat diminta portfolio hanya akan jadi kumpulan foto tunggal yang beresiko tidak padu atau tanpa benang merah. Semakin banyak foto, semakin banyak pula cerita disampaikan. Sekaligus saling melengkapi, logika sederhananya demikian. Photo story mempunyai bentuk dan elemen dalam bertutur. Dalam konteks ini kemudian ada yang menerjemahkannya sebagai foto bertutur atau foto (ber)cerita. Kang Ray mengajukan istilah foto berkisah sebagai photo story yang khas membahas tentang budaya Indonesia. Sebagai upaya mencari visualisasi ala Indonesia sekaligus berkejaran dengan waktu merekam tradisi dan budaya negeri yang laju digerus jaman.

Andai ini menjadi kesadaran bersama akan menjadi gerakan yang dahsyat. Saya kenal beberapa fotografer yang mengabdikan hidup di “jalan pedang” nan terjal ini. Selain Kang Ray sendiri bisa disebut beberapa diantaranya: Om Don Hasman dengan salah satu rekaman monumentalnya tentang Baduy dan Refi Mascot dengan kerucut idenya mendokumentasikan tato tradisi bahkan dengan medium tubuhnya sendiri, tak hanya lewat jepretan rana. Saya banyak belajar dari nama-nama itu, seperti meminta petunjuk pada Refi saat akan ke Mentawai dua tahun silam. Sekaligus saling menyemangati di jalan perekaman yang panjang dan sunyi.

Adakah yang tertarik mengikuti jejak mereka untuk blusukan di lebat belantara?

Mari mulai (belajar) dari yang terdekat. Rasakan setiap hembus angin, bau tanah basah, dan kilau keringat yang tercucur. Mungkin disana hadir jiwa perekaman yang sesungguhnya.

Isenglah Sejak Dalam Pikiran

Ia bisa merupakan perasaan tidak ada yang perlu dikerjakan, atau melakukan sesuatu sebagai perintang-rintang waktu karena tak mau menganggur. Nah..yang paling cilaka, iseng adalah sekadar main-main atau tidak bersungguh-sungguh.

Bagaimana kalau main-main kita potong setengah menjadi main saja? Ia kemudian berarti melakukan aktivitas atau kegiatan untuk menyenangkan hati, bisa juga dengan menggunakan alat tertentu. Kamera tentu termasuk salah satunya.

Main berubah menjadi “negatif” saat berganda menjadi main-main. Sementara iseng tetaplah “negatif” walau berganda. Jika si iseng ini ingin menjadi “positif” ia harus merupakan dasar dari tindakan main. Saya harap kita bersepakat karena ini sedang (iseng) bermain kata. Bukan main-main kata. Njlimet ya? ☺

Seorang sohib, sebut saja FX Damarjati, dosen UPI YAI yang ganteng itu, berawal dari keisengan mengamati kecoak menjadikannya tindakan (ber)main simbol dengan dan lewat hewan yang untuk sebagian (besar?) orang menjijikkan itu. Lalu kecoak bisa menjadi simbol kemewahan dalam wujud perhiasan (cincin) atau tampil dalam keindahan kelopak bunga.
Karya FX. Damarjati dalam buku "Kala Aku"
Kecoak tak lagi tampil verbal sebagai makhluk yang banyak diemohi menjadi hal tersamar dan wajar tampil dalam karya dan terpajang di galeri. Ia menjadi bagian dari aktivitas atau kegiatan untuk menyenangkan hati sang kreator: mencipta. Bahkan kecoak itu sungguh berjasa membuatnya lulus Strata Dua sebagai bahan thesis.

Jadilah iseng sangat boleh sebagai mula, bukan muara, apalagi alibi soal keengganan atas ketidakseriusan. Mari aminkan judul tulisan ini; isenglah sejak dalam pikiran, seriuslah dalam tindakan (bermain). Karena sesungguhnya kita adalah Homo Ludens (makhluk yang bermain). ISENG bisa juga berarti: Ih SErius baNGet..!! Walau sekedar memotret kegiatan anak di sekolah, karena akan jadi selembar kenangan yang tak terlupakan. Jangan hanya serius saat motret model.

Bung Besar penyemangat dalam kelas..
Nah..berikut adalah foto iseng gegara saat bisa mengantar bocah ke sekolah bertepatan dengan jadwal imunisasi dari Puskesmas digelar. Andai masih aktif berkegiatan di koran, foto-foto ini bisa dimuat nih, sebagai bentuk keisengan redaktur foto pasang foto anak sendiri. J Ya…redaktur foto itu banyak isengnya, termasuk ngisengin fotografer dengan penugasan yang sulit dan menyengsarakan. Sudahlah tempatnya jauh, harus berangkat pagi buta pula ke acara tentara.

Saya curiga keisengan pulalah yang mendasari kerja para penguasa. Semoga benar (berniat) demi menyenangkan hati rakyat. Jika tidak ia akan digugat sepanjang hayat setidaknya lewat lambe turah di media sosial. Bahkan saat ia sudah pensiun (mencipta lagu) sekalipun.

“Nah ngelantur kan?!?”

Oiya, berikut foto-foto itu.. ☺
Abyan yang 14 Agustus lalu genap 8 tahun, kini kelas 2 SD.
Ketahuan kan mana bocahnya? :)

Tanda hadir..

















Aksi petugas Puskesmas..
Iapun beraksi memalingkan muka..
Mencoba bersembunyi..

Ragam ekspresi..

Jumat, 18 Agustus 2017

Merdeka Sehari

Bermula saat diskusi di gelaran Huntbar yang digagas HMJ Fotografi Polimedia di Kota Tua Jakarta saya spontan melontarkan ide untuk merespon HUT RI ke 72 dengan gerakan pendokumentasian berjamaah sehari penuh pada 17 Agustus itu. Ada beberapa kawan muda merespon positif, bahkan bergerak secara mandiri.  Menindaklanjuti hal tersebut saya dan beberapa kawan mulai berupaya mewujudkannya, dengan gerilya menanyakan ke beberapa kawan yang kiranya bersedia bergabung. Saya sampaikan bahwa ide ini adalah swakarsa dan swadaya. Artinya muara atau bentuknya kemudian seperti apa adalah hasil rembug bersama. Sementara ini diniatkan untuk membuat (mini) pameran dan merangkumnya dalam e-book yang dibagi gratis, serta diiringi diskusi kecil di sela pameran. Kembali lagi jika ini disepakati oleh seluruh jamaah yang berminat dan bergabung.
Secara judul juga masih bisa didiskusikan kok.. :) 
Penuh harap dalam sehari itu bisa didapatkan kemerdekaan dalam memotret akan kemerdekaan berekspresi memperingati hari kemerdekaan negeri. Apakah selepas hari itu kita berbeda dan sesungguhnya (lebih) merdeka?!? ☺Juga hal-hal lain di luar panggung, seperti keseharian yang salah satunya adalah kecelakaan lalu lintas yang terekam olah lensa Eggy Dwi Prasetyo. Ajakan ini belumlah berani membuka diri untuk menjangkau kalangan luas, masih terbatas pada kawan-kawan yang sudah cukup dikenal dan kira-kira sepakat dengan ide yang diangkat. Semoga berikutnya bisa pula merespon beragam peristiwa atau isu yang sedang berlangsung dengan upaya pendokumentasian partisipatif yang lebih masif dan massal. Dari, oleh, dan untuk kita, bersama-sama serta setara.


Namun jika kiranya ada yang minat bergabung atau ingin mengintip kegiatan ini, silahkan pantau terus atau colek saya di: 08129821012 dan ravadin@gmail.com

Minggu, 06 Agustus 2017

Guwe Juga Ngarti Kalee..

Dalam proses belajar bagaimana cara membuat foto yang bagus? Lebih kurang pertanyaan semacam ini selalu muncul dalam suatu seminar atau diskusi. Biasanya nongol saat obrolan santai jeda kopi atau seusai acara, bukan saat sesi tanya jawab. Seperti selepas acara Huntbar yang diadakan HMJ Polimedia Jakarta di Kota Tua kemarin, di sela sesi wefie ada peserta yang mengampiri dan berbicang ringan.


Terima kasing Bro Ardiles Akyuwen untuk portrait keren ini..
Jawaban yang saya berikan tetap sama dan normatif, dari ekspresi wajahnya sepertinya nampak ketidakpuasan. 

Yaa..kalau jawaban macam itu, cuma harus rajin motret, guwe juga ngarti kalee.. ☺ 

Karenanya saya tambahkan dengan usulan agar membentuk kelompok hunting foto dan diskusi kecil. Selain sebagai rekanan dalam menjaga elan pemotretan, juga bisa saling memberikan evaluasi. Syukur-syukur ada mentor yang bisa membimbing secara berkala dan intens. Agar terpantau pencapaian dan pekerjaan rumah selanjutnya.

Saya beruntung karena mengenal fotografi saat belajar formal Desain Grafis sehingga ada guru yang bisa direcokin dengan beragam pertanyaan. Saat itu ada Pak Risman Marah yang dengan sabar mengajari hal-hal sedari dasar seperti metering. Kemudian ada Mas Roy Suryo, yang kemudian hari menjadi Menpora itu, yang bahkan mengantar saya membeli kamera ke Artha di Jalan Solo. Dari keduanya saya juga belajar memotret dan memotong kostum sang model. ☺

Selanjutnya saat melanjutkan studi di jurusan Fotografi ISI Yogyakarta, selain di kampus, saya digembleng Mas Edial Rusli di Padepokan Gowongan, rumah klasik yang jadi markas anak nongrong jaman itu. Disini saya dicecar agar memotret rapi dan mengawasi pencahayaan yang ada. Hasil jepretan kenyang dicoret-coret spidol untuk mengajari komposisi yang pas. Juga belajar studio dengan Pak Johnny Hendarta dan Pak Herry Gunawan serta memahirkan Komposisi lewat Pak S. Setiawan. Bahkan nama terakhir tersebut membantu saya mencarikan lensa Nikon 20mm.

Berikutnya oleh Mas Edial saya dititipkan ke Bang Rama Surya di Patangpuluhan, ini rasanya tingkatan belajar terberat. Pada fase ini saya sudah semester akhir akhir namun seolah belajar dari dasar, dilatih untuk berlatih cermat previsual, tafsir karya, selain belajar giat memroses foto hitam putih analog.  Kesemua proses belajar dengan para guru tersebut sangat berpengaruh kini.

Jika musti dirangkum menjadi tips-trik rasanya menjadi tak mudah, butuh proses seiring keseriusan. Walau cara belajar generasi kini relatif jauh lebih mudah dan cepat dengan banyaknya sumber pembelajaran, salah satunya adalah raksasa internet. ☺ Lha wong mahasiswa sekarang dengan mudah konsultasi lewat WA, yang mungkin saja ia lakukan sambil ngemil dan ngupil.

Bedanya jika harus belajar informal atau otodidak adalah menjaga intensitas diri. Belajar mandiri tanpa motif dan semangat kuat akan berlarut belaka tanpa pencapaian yang terukur. Kecuali jika memang sekedar hobi atau iseng yang kadangkala jadi alasan pelarian akan ketidakseriuan.

Guwe kan cuma iseng..”
Guwe kan cuma hobi..”

Alibi mujarab jika diajak membahas dengan serius sebuah topik atau saat diminta “mempertanggungjawabkan” karyanya.

Pertanyaan lain yang biasanya nongol adalah perkara alat. Saya juga sempat berbincang seusai acara tentang hal ini yang merupakan pertanyaan lanjutan dari sesi tanya jawab. Terkait kebiasaan pemakaian (focal) lensa dan pertimbangan untuk memakai mirrorless.

Saya sejak akhir era 90an terbiasa meringkas alat. Terutama saat belajar dengan Bang Rama Surya dan dibiasakan keluyuran hanya dengan lensa 50mm. Kemudian hingga kini terbiasa dengan kombinasi 28mm, 50mm, dan 90mm. Ini pilihan personal belaka terkait kebiasaan dan kebutuhan soal pembingkaian saat pemotretan. Ada kawan yang lebih memilih lensa “tengah” 35mm berduet dengan 60mm micro. Jika hanya (harus) membawa satu lensa saya cenderung untuk membawa 50mm. Sebagai lensa normal, focal ini cukup yahud dibawa “maju-mundur”.

Tetapi jika memakai mirrorless yang ukurannya secara umum relatif mungil membawa beberapa lensa sesungguhnya masih cukup ringan. Dalam tas pinggang yang saya bawa sehari-hari termuat tiga lensa tersebut di atas. Mirrorless membuat rajin berkamera, bereaksi lebih cepat dan tak segan membidik. Soal pemilihan merk kembali ke kebutuhan, performa, selera warna dan tentu isi kantong. Kalau memang dengan sensor kecil dirasa cukup tentu tak perlu pakai full frame yang “full” pula harganya.

Kelanjutan pertanyaan soal alat adalah pengoperasian. Ada yang bertanya bagaimana supaya tak kehilangan momen terkait setting kamera. Aturlah se-auto mungkin, jawab saya. Pilihan saya jatuh pada opsi A (AV) atau S (TV), dengan kecenderungan pilihan pertama. Tinggal kemudian bermain kompensasi. Kamera sekarang sedemikian cerdas, titik fokus bisa kita perintahkan secara otomatis untuk mengunci subjek yang dekat dengan kamera. Di sisi kiri, tengah, atau kanan bingkai. Bahkan bisa diiumbuhi dengan AF Tracking

Demikian pula ISO bisa diperintahkan bekerja di rentang tertentu, misal 200-1600, jika kita khawatir noise di ISO yang lebih tinggi. Sehingga ISO akan secara dinamis menyesuaikan kondisi pencahayaan tempat pemotretan. Kecuali jika ada pertimbangan khusus ingin melulu memakai ISO tertentu, kita tinggal setting secara manual.


Nah, salah satu yang tak bisa diotomatiskan adalah metering mode. 

Monggo dicermati lebih lanjut..

Perkara teknis memang hal medasar yang kudu dibangun dengan baik. Sebagai pondasi dan kendaraan dalam menyampaikan serta menghantarkan gagasan.
Selepas teknis ada pertanyaan, mana yang lebih bagus sebuah pemotretan dengan framing (previsual) terencana atau spontan kemudian dibuat cerita atau konsepnya? Keduanya sama baik, karena yang spontan sekalipun sesungguhnya sudah ada intensi saat rana dijepret dalam waktu singkat. Tingkat keberhasilan tentu kembali ke lama latihan atau jam terbang. Walau pada bagian “dicari cerita atau konsepnya belakangan” tak selalu bisa pas atau berhasil. Kadang terasa otak-atik atau cocoklogi, alias dipas-pasin sesuka hati.

Itulah mengapa ada obrolan lanjutan tentang seorang peserta melihat pameran dan merasa tak nyambung saat membaca tulisan pengantar (konsep) dengan karya yang terpajang. Bahkan obrolan (konfirmasi) dengan sang seniman masih juga tak memuaskan.

Ada beberapa hal yang perlu dicermati disini:
1. Memang PR bersama, tak semua fotografer bisa dengan fasih menjelaskan gagasan, baik secara lisan maupun tulisan.
2. Tak sedikit pula pemirsa yang datang memandang tidak dengan bekal yang memadai. Apalagi jika sudah tersimpan niatan (selalu) menghakimi. Sehingga memang ada kesenjangan nan timpang pada dua hal tersebut.

Bagaimana supaya setidaknya ada keseimbangan? Oya..hal ini bukan untuk menyeragamkan apalagi memaksakan pandangan salah satu pihak ya..tetapi bagaimana foto sebagai sebuah teks terbaca dan terjadi dialog yang konstruktif di dalamnya. Ibarat kata, jika membaca berita koran yang relatif verbal saja repot, bagaimana membaca karya sastra? Untuk membaca juga ada ilmunya bukan? ☺

Bisa ada beberapa hal diupayakan:
1. Yaa..mau tak mau fotografer kudu mencoba memperbaiki bacaan lalu tulisan. Sehingga komunikasi menjadi lebih lancar sebagai komunikator. Jangan lupa, bacaan lalu tulisan.
2. Demikian juga komunikan membawa bekal yang memadai termasuk membuka diri untuk terus berproses dalam membaca setiap gejala dan pendekatan visual yang kian beragam. Membiasakan datang dalam diskusi karya adalah salah satu caranya.
3. Foto diiringi teks dan diskusi untuk membicangkannya. Dibarengi peran kurator atau kritikus sebagai jembatan demi keterbacaan karya kemudian.

Sehingga foto sebagai teks tak hanya dibaca, dihakimi secara hitam putih: bagus-jelek, mantabs-gitu doang, asyik-cemen dan semacamnya secara semena-mena. ☺ 

Apalagi jika berhenti di tataran teknis belaka.

Lha terus tulisan sepanjang ini mana bahasan street-nya?

Ah..soal itu ente pade ude ngarti kalee.. ☺




Terima kasih untuk kawan-kawan yang sudah berkenan hadir.
 Terutama kepada HMJ Fotografi Polimedia sebagai pemangku hajat. :)

Kamis, 03 Agustus 2017

Padu Padan Dalam Kedipan Rana*

Saat saya berpameran tunggal foto hitam putih dengan tajuk “Negeri Salah Langkah” pada 2001 silam di CCF Bandung, Seno Gumira Ajidarma, salah satu penulis yang memberikan catatan pada katalog memberi judul tulisannya: “Rasdian dan Perpadanan”. Dalam coretannya, Mas Mira, demikian saya biasa memanggilnya, menohok telak bahwa “rumus” memoret saya adalah perpadanan antara satu dengan hal lainnya. Bisa dua hingga tiga hal (objek). Bahkan beberapa “hanya”menunggu sesuatu yang melintas dan dirasa pas lalu memadankan dengan latar yang sudah saya siapkan. Setidaknya ini lecutan yang saya rasakan saat merasa besar kepala gegara berpameran tunggal.

… “Rasdian melihat dunia ini sebagai perpadanan-perpadanan yang bisa tetap sepadan atau sebaliknya saling berlawanan. Yang pertama mengesahkan, yang kedua menjungkir balikkan”. …

Contoh yang kedua adalah foto yang memperlihatkan Presiden Habibie yang berpeci merangkul tiga anak sekolah dalam poster kampanye “Aku Anak Sekolah”, sementara di depannya anak-anak sekolah itu berpose dengan kostum dan hiasan peperangan. Anak-anak dalam poster maupun dalam foto sama-sama tampak murni, justru karena itu kewajaran menerima kekerasan menjadi hal yang kontradiktif dengan keberadaban dalam semangat sekolah itu sendiri,. Apakah kita diajarkan untuk mencintai kekerasan? Dalam foto ini berlangsung penjungkir balikkan.”, demikian tulisnya.

Saya sangat bersyukur saat berniat menerbitkan buku "Senjakala Kalijodo" (2017), Mas Mira berkenan kembali memberikan pengantar. Karena hanya sorangan, tulisannya cukup panjang dan lumayan teoritis. Salah satu yang membuat lega adalah bahwa foto saya dirasa tak lagi bermodal “perpadanan”, artinya saya relatif berkembang, apalagi dalam rentang 15 tahun. Kalau begitu-begitu saja kan malu. ☺

“Jika pada 2001 sang juru foto tampak mengarahkan dalam ironi dari kontras keberpadanan, pada 2017 ini kontras keberpadanan, seperti menggusur-tergusur, dan sejenisnya taklagi hadir dalam ketertampakan eksplisit, yang memungkinkan Pembaca masuk lebih jauh sebagai Subjek-yang-Memandang, untuk memproses produksi maknanya sendiri.”, pungkasnya.

Sesungguhnya perpadanan adalah hal yang jamak dalam fotografi (memotret). Karena pada dasarnya (setidaknya) objek pemotretan terbagi dalam tiga lapis: latar depan, tengah (tempat objek utama biasa diletakkan, walau tak selalu), dan belakang. Kemudian ada juga yang membingkainya lagi dengan pembagian (bidang) dalam dua sisi: kanan-kiri atau atas-bawah.


Semua pendekatan (pembagian) tersebut di atas mesti berangkat dari kesadaran akan membangun sebuah cerita. Jika objek utama diletakkan di B (latar tengah), apa fungsi dan relasinya dengan A (latar depan) dan C (latar belakang)? Saling menguatkan atau berlawan secara kontras (perbandingan)? Mempunyai kesamaan bentuk atau arti? Atau sekadar pemanis estetika belaka?

Purwokerto, 12 Mei 2017.

Demikian juga yang demen membagi dalam dua bidang, apakah yang kiri dan kanan, juga atas-bawah, diniatkan dengan relasi tertentu? Atau mirip dengan pendekatan teknik sanding dalam photo story untuk mencari efek (tafsir) ketiga? Tafsir pertama di bagian atau sisi A (kiri), kedua didapat dari bagian B (kanan) sedang tafsir (efek) ketiga didapat dari penyandingan atau relasi dari dari dua sisi (A dan B) tersebut.


Pada konteks ini sesungguhnya kita akan melintas pada wilayah tafsir, selepas kendaraan estetika. Tak lagi berbincang ini apa(?) dan betapa indahnya, tapi menyelam pada lautan pertanyaan ini tentang apa(?). Pendekatan semacam ini bisa dimanfaatkan dalam membaca (tafsir) visual sebuah karya, pun dalam memroses secara cepat relasi objek yang akan kita rekam.

Bagaimana dengan foto berikut?


Tanpa keterangan sama sekali, foto tersebut hanya memberikan informasi terbatas; Ada seorang yang semestinya perempuan karena berkerudung dan (sepertinya) dewasa sedang memotret tiga remaja yang bisa jadi kerabatnya yang sedang bermain di pantai. Lokasinya persisnya tak semua orang tahu, atau ada yang mengenalinya dengan pasti?


Sebuah foto yang lengkap (informatif) sepertihalnya dalam foto jurnalistik dan dokumenter tak bisa sekedar “Biarkan Foto Bicara”, karena tanpa teks bisa jadi akan kehilangan konteks. Berpotensi menjadi liar dalam tafsir atau interpretasi. Kecuali kalau memang diniatkan seperti karya lukis misalnya yang kadang hanya dijuduli dangan “tanpa judul” atau sekedar karya 1, 2, 3 dan seterusnya. Itupun jangan dilupakan bahwa biasanya tetap ada teks yang menyertainya dalam bentuk pengantar oleh sang seniman dan/atau kurator.

Untuk foto di atas jika saya tambahkan informasi bahwa itu di sebuah pantai di pesisir Barat kota Banda Aceh dan lokasi itu adalah bekas terdampak Tsunami 2004 apakah ada tafsir baru hadir? Mari kita diskusikan Sabtu besok selepas HuntBar di Kota Tua.. ☺

Nah..berikutnya sebagai bekal obrolan juga mari periksa isi folder foto di komputer masing-masing, sejauh mana padu padan kita? Apa yang sesungguhnya kita sampaikan dalam selembar atau bahkan berterabyte foto yang terekam? Sudah padukah padu padan itu?

* Tulisan ringkas ini diniatkan terutama sebagai pemantik diskusi pada acara berikut:


Rabu, 02 Agustus 2017

Julian Sihombing dan Anushka

Sohib sesama kombatan di harian Jurnal Nasional dulu, Agung Kuncahya Bayuaji yang sekarang dinas di Kantor Berita Xin Hua mengundang untuk turut memantik diskusi di gelaran pameran foto Anushka di Bandung. Pameran yang digelar oleh kawan-kawan Pewarta Foto Indonesia Bandung ini diadakan di Gedung Indonesia Menggugat, diskusi berlangsung pada Senin sore 24 Juli 2017. Oiya..Agung adalah mentor sekaligus kurator dari pameran ini.

Diskusi sekilas tentang photo story.
Diiringi hujan deras sekilas diskusi berlangsung hangat, jadi obrolan santai yang saling mewarnai. Saya dapat banyak gambaran tentang beberapa isu terkini yang terjadi di Bandung dan Jawa Barat umumnya. Tempat kawan-kawan pameris ini tinggal dan berkarya, juga wilayah saya keluyuran liputan saat dulu bergabung di harian Republika perwakilan Jawa Barat pada 2001-2003. Bandung, selain Jogja tempat saya kuliah selama enam tahun, dan tentu Ngawi sebagai kota kelahiran selalu menghadirkan cerita sekaligus kenangan. Iya..kenangan dengan kamu..iya.. kamuu.. ☺

Dulu media sosial (medsos) tak semasif dan masal seperti sekarang. Liputan sebuah berita tak sesederhana dulu, kini setiap warga merasa diri menjadi seorang reporter (jurnalis warga) yang berbekal telepon pintar dan  medsos menjadi muara yang (seharusnya) sangat demokratis. Yang membedakan adalah kredibilitas media dan tentu sang reporter itu sendiri. Jurnalis warga sering jauh lebih unggul secara kecepatan, tapi seringkali kedodoran soal keakuratan. Hal yang wajar karena memang bukan berdisiplin jurnalis yang musti mendalami berita dengan (re)konfirmasi dan verifikasi.

“Yah..ada kecoak di kamar mandi..!! Cepet lihat Yah..!!”, teriak si bungsu menginterupsi tulisan ini. Beginilah kalau pekerja rumahan. ☺ Lanjut lagi yaa..

Kelebihan dalam disiplin untuk mengolah (nilai) berita itu yang harus terus dan makin diperkuat oleh kawan jurnalis. Dalam konteks fotografi bisa dalam bentuk memperhatikan detail peristiwa dalam (bangunan) cerita yang direncanakan dan ikuti. Bisa jadi di lapangan ditemukan banyak konten dan konteks baru, bahkan menghasilkan bahan cerita yang lain pula. Jadi kudu membiasakan diri membuka mata dan telinga untuk menggali hal-hal baru dan mencermati segala sesuatu yang seringkali nampak sepele bahkan secara visual. Bahkan “foto receh” sekalipun bisa jadi foto utama Kompas, tulis Arbayn Rambey.

Hal itu saya rasa juga tercermin dari buku “Split Second, Split Moment” karya alharhum Julian Sihombing, rekan sealmamater Bang Arbain di Kompas. Bang Jul, demikian saya biasa menyapanya, memotret beragam hal sederhana namun sesungguhnya sarat makna. Bahkan saat dicermati kini. Foto-foto dalam buku itu seperti mengisahkan wajah kita dulu. Mulai dari peristiwa keseharian, portrait tokoh, politik, hingga olahraga, termasuk foto legendaris peristiwa kerusuhan 1998.

Buku ini saya dapat (lagi) dari menitip beli, lewat kebaikan seorang kawan Facebook yang mengirimkannya dari Padang, Sumatera Barat. Berselang dua hari sepulang dari Anushka ini nongol di rumah. Buku sebelumnya entah terselip dimana atau ada yang meminjam lalu rasa memilikinya cukup tinggi. ☺ Bisa juga berniat membantu menyimpankan karena tahu rumah saya mungil dan sudah terjejali buku dan printilan motor tua.

Beberapa foto “sederhana” dalam buku Bang Jul juga mengingatkan pada buku dwilogi “Ekspresi” karya almarhum Ali Said. Bang Ali adalah mantan redaktur foto di harian Republika tempat saya sempat magang pada 1996. Sosok khas dengan kretek Dji Sam Soe, tas kamera Domke gede, dan Nikon F3 ber-MD4. Waktu itu selepas Maghrib saya selalu menunggu lambaian tangannya untuk mendekat sembari membawa klise foto hasil jepretan hari itu. Lalu..layaknya film kungfu klasik..sang guru mengomeli sang murid yang masih saja bebal dalam mempraktikkan jurus yang diajarkan. Hari-hari itu, senja sungguh meneror.

Dari sosok-sosok tersebut saya banyak belajar. Bahwa demikianlah seharusnya fotojurnalis. Ia kudu mau mencatat jaman melalui rekaman pandangnya. Tak hanya pada peristiwa besar di garda depan tapi juga ceceran di belakang layar, figuran-figuran, dan wajah-wajah serta suara-suara yang terpinggirkan, diabaikan panggung media yang gemerlap penuh agenda. Saat sebuah foto tak dimuat, buku dan mungkin pameran adalah muara alternatif. Tempat dimana fotojurnalis menyatakan sikap dan keberpihakannya.

Al Fatihah untuk Bang Jul dan Bang Ali.. 

Selasa, 01 Agustus 2017

(Selalu Soal) Pilihan Sudut Pandang

“Apa kesulitan menjuri lomba foto?”, tanya seorang kawan di tengah ruang pamer “Anushka” di Galeri Indonesia Menggugat, Bandung beberapa waktu lalu. Ia letakkan konteks pada Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2017 lalu, dimana saya adalah salah satu dari total delapan juri.

Bang Andre sigap menyiapkan foto untuk penjurian.
“Sulit (memilih) kalau fotonya bagus-bagus”, jawab saya cepat diiringi senyum lebar.

Tetapi foto (ter)bagus tetap akan nampak. Semakin di ujung proses penjurian, kesulitan penilaian meningkat diiringi diskusi hangat bahkan perdebatan yang semakin menjadi. Saringan awal biasanya lebih pada teknis dan estetika, pertimbangan berikutnya adalah konten fotonya. Tentu karena judulnya lomba, kesesuaian dengan tema juga menjadi penekanan.

Seperti penjurian lomba foto dalam rangka "Pekan Nasional Perubahan Iklim" kemarin yang digelar oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), saat waktu merambat mendekati tengah malam diskusi lebih pada konten (isu) masing-masing kandidat terkuat. Narasi (caption) dibuka dicermati satu-persatu. Kami dewan juri juga tak segan meminta pertimbangan kepada kawan panitia terkait isu dalam foto yang barangkali luput dari pengamatan dan pengetahuan kami yang bisa disebut awam dibanding kawan-kawan internal KLHK.

Saat saya mendapat tawaran untuk menjadi juri lomba tersebut yang terlintas di benak bahwa akan banyak foto penanaman mangrove dan kekeringan yang muncul. Semalam hal itu terbukti. Menjadi hal yang wajar saat perubahan iklim diterjemahkan dengan hal tersebut karena relatif visualnya tersedia cukup masif. Untuk isu kekeringan juga ada foto kebakaran serta asap yang nongol, sudah menjadi semacam “agenda rutin” di negeri ini. Duh..tragedi yang seolah jadi tradisi. 

Visual kesedihan seperti kekeringan, kebakaran, banjir, abrasi dan semacamnya, akan kuat menyentuh perasaan pemirsa. Seolah menjadi latar “bad news is a good news” yang layak viral. Seperti kegemaran umumnya kita(?) terhadap (tayangan) gosip di televisi juga dalam menyebarkan foto korban kecelakaan. Memangnya kalau pesohor A akan menikah siri atau pesohor B (konon) digugat cerai  trus ngapain? Bukan berarti kebakaran itu seperti gosip belaka lho..

Saya lebih tertarik pada foto salah satu peserta yang merekam momen seseorang dikejar terjangan ombak besar yang menggerus bangunan di belakangnya. Salah satu (wujud) isu perubahan iklim adalah naiknya permukaan laut. Foto ini bernada “negatif” tetapi mengirim pesan agar kita selalu awas dan arif bertindak terhadap alam dan lingkungan.

Hal buruk tentu masih terjadi di sekitar kita, tetapi upaya baik (positif) juga patut diapresiasi dan disyiarkan agar menular menjadi tindakan nyata bersama dan menggerus hal negatif. Seperti upaya pencarian dan penggunaan energi alternatif yang rendah emisi. (Yang merasa kirim foto semacam ini boleh “gede rasa” karena bisa jadi fotonya menang..) ☺

Menurut saya, dalam sebuah penjurian tak sekedar memilih siapa sang juara. Tapi juga coba membaca dan mengantarkan pesan sesuai dengan kampanye yang ingin dicapai oleh lomba itu sendiri. Terlebih seperti lomba ini yang mengangkat isu (kesadaran) tentang lingkungan.

Apakah pilihan kami dewan juri sudah tepat dan memuaskan semua pihak? Mungkin saja tidak, terlebih hanya berangkat dari foto yang masuk dan bisa jadi pilihannya terbatas. Tapi upaya untuk berproses bersama dari memotret kemudian membaca, yang bisa juga berangkat dari catatan sederhana ini patut terus diupayakan sekaligus dirayakan.

Ini juga sekaligus merupakan sebentuk pertanggungjawaban saya. Sebagai bagian warga (fotografi) negeri ini yang terus belajar dan berproses bersama.