Rabu, 03 Juni 2020

Miksang Yang Sang-seng

“Kok cuma gitu (doang)?!?”

Jangan-jangan nyaris semua foto dikomentari dengan nada yang sama. Apakah itu salah? Tentu tidak. Mungkin karena merasa sudah sedemikian mumpuni dalam karya dan kritik. Tapi mesti diingat, bisa jadi bekalnya adalah “mumpuni”, bahwa ia menguasai keahlian (kecakapan, keterampilan) tinggi. Setelah mampu melaksanakan (tugas) keahliannya itu dengan baik. Menurut saya itu berlaku baik dalam (pembuatan) karya dan dalam kritik. Saat di “kamar gelap” maupun di “kamar terang”.

Kalau tidak mumpuni apakah tidak boleh berkomentar? Ya tetap boleh, tapi mesti hati-hati terkait konteks. Apalagi jika di media sosial yang nirtatap muka yang tanpa nada (intonasi) yang bisa jadi merubah arti. Terlebih jika tidak berbekal, khawatir jadi komentator ala “ndelok” (melihat). Kependekan dari bahasa Jawa: kendele (beraninya) alok (komentar), alias beraninya komentar (doang). Masa belum pernah mencangkul, kok mengomentari hasil mencangkul orang lain. Apalagi (sok) menggurui dan menghakimi liyan.

Di sisi lain biasanya saat semakin dianggap mumpuni, seseorang akan semakin merasa tidak mumpuni. Tidak sok jago. Kian berisi, kian merunduk karena merasa bahwa di atas langit masih ada langit. Semakin banyak membaca, malah semakin banyak menghadirkan ketidaktahuan dan rasa penasaran.

Saya jadi teringat cerita sebuah dialog, yang diceritakan guru saat sekolah:
“Fotomu ini jelek. Yang itu, itu, dan itu, juga jelek.”
“Terus bagusnya bagaimana?”
“Kamu yang pikirin lah, kan karya kamu!”

Kalau dialog semacam itu dilanjutkan, hanya akan berujung pada tarik urat bahkan otot. Pethenthengan dan penthung-penthungan kata orang Jerman (Jejere Kauman).

Nah, sekarang saya mohon ijin ikut ndelok soal Miksang. Kenapa judulnya pakai Sang-seng? Dalam bahasa Jawa itu berarti bau yang tercium kuat, sesekali datang dan pergi seperti saat terhembus angin. Soal bau ini bisa wangi atau juga sebaliknya, busuk. Jadi saya tidak menghakimi bau Miksang, hanya merasakan fenomena aroma sang-seng itu tadi. Mohon tidak disalah pahami. (Ngati-ati tenan lho aku iki. Wedi yen dijotosi.)

Karena sang-seng tadi untuk saya beberapa kali terhidu sebagai pethenthengan dan sebenarnya itu baik adanya. Semakin terjadi dialog, harapannya tidak terjadi penthung-pentungan dan menuju satu titik temu walau itu bertajuk “sepakat untuk tidak bersepakat.” Memang diperlukan keterbukaan pikiran. Mengkhawatirkan jika kita menghakimi tanpa mengenal dan melihat dengan (banyak) perspektif yang lebih luas. Sepertihalnya pemahaman umum dalam pewayangan bahwa Buto (raksasa) Cakil adalah melulu jahat dalam Perang Kembang. Mencegat dan mengganggu perjalanan ksatria di tengah hutan. Padahal bisa jadi Cakil sedang menjalankan tugas sebagai Jaga Wana alias Ranger atawa Penjaga Hutan. Tak menutup kemungkinan bukan kalau ksatria adalah pembabat hutan? Setidaknya ia memberikan ijin HPH.

Kalau dirunut argumentasi soal Miksang, rasanya relatif jelas. Saya kutip-rangkumkan dari jawaban Dody S Mawardi yang sering digugat tentang hal tersebut, diantaranya:
“Miksang Kontempalif itu tidak sama dengan asal jepret yang diartikan seperti memejamkan mata lalu njepret ke segala arah (membabi buta?). Karena Miksang mensyaratkan interaksi mata lalu masuk ke ranah heart (hati).” Seperti saat jatuh cinta pada pandangan pertama? ;)
Foto Miksang adalah personal. Fotografer tidak punya kuasa apapun terhadap persepsi viewer. Viewer bebas untuk merasakan. Bukan memaknai. Miksang bukan untuk dimaknai. Bukan pula untuk mencari pemaknaan. Beda dengan fotografi biasa yang cenderung menyampaikan story atau pesan.
“Berarti foto Miksang hanya untuk diri sendiri, bukan untuk banyak orang?”
Ya...Miksang adalah personal experience.
Miksang adalah karya yang sangat basic... Betul-betul di luar teori fotografi. Jadi andai nanti ada perdebatan tentang ini saya kira ndak perlu terjadi.”
Di lain waktu ada penjelasan: “Miksang adalah kemampuan menyerap kemurnian fenomena visual tanpa ada pemaknaan. Ndelok sing gak perlu dipikir.Merasakan dan turut merasakan bagi pemirsa.

Dalam konteks itu saya merasakan ketersesaatan yang ekspresif dalam memotret. Mengekspresikan diri. Apakah menyerupai pendekatan (aliran) Ekspresionisme? Dimana cita-cita ekspresionisme ialah pembebasan seniman dari kaidah seni akademik dan mengandalkan kepada dorongan yang bersumber dari dalam pribadi, suatu pemuasan diri (self-enjoyment). Memiliki kecenderungan untuk pembebesan diri (individualisasi) dalam berekspresi. Pribadi sadar akan pengorbanan diri, introspekdi dan menjauhkan diri. Jika “digugat” lebih jauh, apakah  juga menolak tradisi akademik, Realisme, dan Impresionisme?

Itu yang saya rasa, bisa saja salah. Demi kemudahan pribadi mencerna dalam konteks visualisasi. Karena kalau bicara Dharma atau Sufisme belum gaduk alias ketinggian. Saya pribadi dalam memotret masih banyak mempraktikkan “melihat, berpikir, dan merasakan”, demi membangun pesan. Mungkin karena latar saya sebagai orang yang lebih banyak memotret dengan konteks Jurnalistik-Dolumenter. Walaupun mungkin gambarnya juga seringkali tak jelas juga. Namanya juga masih terus belajar.

Ada juga yang mendekati Miksang secara lebih religius(?). Bahwa ini adalah juga merupakan laku meditasi. Suatu pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Sesuatu itu apa? Menurut saya karena ini personal jadi bisa apa saja, misalkan ketenangan batin. Dalam laku ritual, ini seperti zikir memakai tasbih, ada pula berdoa dengan rosario atau pendekatan lain. Menjadi pilihan medium yang merdeka.

Dalam ketersesaatan pemusatan pikiran dan perasaan melepaskan semua kenangan (masa lalu) dan rintangan masa depan. Hati nurani hanya sadar tentang (kemurnian) masa kini. Hal yang bisa ditemukan atau cari dari bunga, batu, kupu-kupu, dan hal lainnya. Sesekali mencari kebenaran. Keindahan (sejati) terdapat dalam pencarian (itu sendiri). Bukan pada apa yang ditemukan. Ketersesaatan juga menjadi momen menikmati sepersekian detik ke-hidup-an.
Jadi “jangan ditanya kemana aku pergi”, dendang Kris Biantoro. Tidak pula soal apa maksudnya. Mari kita rasakan dan rayakan ketersesaatan setiap tarikan napas. Dengan cara yang kita yakini masing-masing.
Mohon maafkan, saya juga baru bisa “ndelok”. Silahkan tegur sapanya.

Tanjung Barat, Jaksel, 3 Juni 2020 14:11.
*Foto adalah pemanis halaman belaka. Bukan berintensi bahwa ini (contoh) foto Miksang. Hanya mencoba turut merasakan ketersesatan akan ketersesaatan itu. Foto dijepret sekali, tanpa edit (SOOC), dan tanpa mengatur objek pemotretan.


Minggu, 31 Mei 2020

P3K

Sebagai wong Jowo saat badan mulai terasa kurang fit, Pertolongan Pertama Pakai Kerokan menjadi andalan. Apapun keluhannya, ia  menjadi ujung tombak (pertama) yang menghadapinya.

Terlebih saat pandemi terjadi seperti saat ini, kala ke rumah sakit menjadi ngeri dan patut dihindari jika tak bergejala genting. Bahkan mereka yang biasa kontrol atau periksa rutin juga "diliburkan". Biasanya diminta melanjutkan (resep) obat sebelumnya.

Akhirnya bersering hari mewarnai diri, kadang secara mandiri. Berdandan loreng ala macan. Menjadi dandanan melintas zaman. Turun-temurun antar generasi. Seperti saat si bungsu 'bengek", gejala asmanya kambuh saat malam. Kerokan menjadi pereda agar ia bisa tidur. Seringkali manjur.

Koin yang dipakai juga dari mainannya. Bertuliskan logo Star Wars, film fiksi ilmiah yang kondang besutan sutradara George Lukas. Film yang menjadi sebuah fenomena budaya dan menghasilkan banyak produksi film, buku, permainan video, serial televisi, serta bejibun produk lainnya yang dipasarkan luas. Termasuk menghadirkan banyak perspektif tentang filsafat dan agama.

Namun saat P3K ini sang "Perang Bintang" berduet dengan minyak kayu putih asli Pulau Buru. Tempat tahanan politik PKI ditahan bahkan banyak yang tanpa pengadilan. Buah tangan Atika yang kini tinggal di Ambon. Memuaskan kegilaan mantan mahasiswa saya di UIN ini terkait berburu foto.

Jadilah duet itu berkisah tentang dua perang. Yang satu betul fiksi, sementara satu lagi terasa seolah fiksi. Pada konteks yang terakhir, perang dingin yang merembet ke negeri ini masih terus (dibuat?) samar untuk dijadikan (akui?) sebagai bagian sejarah (kelam).

Ceritanya beragam perspektif, sehingga kebingungan untuk menuliskannya di buku (pelajaran) sejarah. Sampai berganti versi bahkan setelah era repot nasi, eh..Reformasi.

Menjadi tak mudah, mungkin untuk saya, secara sederhana menjawab pertanyaan dan menceritakan soal PKI, Soeharto, Soekarno, di lingkaran atau periode itu pada thuyul di rumah yang masih SD.

Saat kebetulan mereka pernah lihat sekilas lihat film perjuangan. Akan lebih mumet lagi menjelaskan andai mereka tanya soal benarkah PKI bangkit.

Wong menulis ringan nan jujur begini saja bisa jadi langsung kena stempel tertentu. Padahal ide atau isme suatu hal yang mustinya bisa dipelajari dan didialogkan secara dewasa nan akademis.

Jadinya kok macam ngomongin Kuntilanak yang mungkin kita tak pernah kenal dan ketemu langsung namun bisa cerita dengan sangat detail. Bahkan model rambut, ukuran baju, alamat rumahnya dan mau makan malam dimana.

Dan ternyata, setelah proses P3K serta menulis ini badan menjadi lebih nyaman. Jangan-jangan kerokan juga bisa menjadi penolak bahaya laten. Lho.. bahaya laten apa? PKI? ORBA?

Wis..kono pilihen dewe. Sing penting ojo njaluk kerok bojone tanggane.

Selasa, 26 Mei 2020

Alegori Corona


Waktu senggang ditafsirkan dengan beragam sikap atau pendekatan. Ada yang menganggapnya negatif, sebagai sebuah bentuk kemalasan, sehingga tak perlu ada dan mesti diisi dengan sebuah kegiatan atau bekerja. Sedangkan bagi yang sudah merasa sedemikian sibuk, harus mencari waktu untuk disenggangkan guna jadi oase atau jeda rehat di luar kegiatan rutin yang padat merayap. Pada dua kondisi tersebut waktu senggang dilihat sebagai sebuah celah atau sela belaka di antara “pendewaan” akan kerja. Sedangkan kini saat pandemi  Corona melanda, situasi menjadi terbalik, waktu senggang merajai, bahkan tak sedikit yang tetiba nirkerja.

Secara normatif kerja mempunyai “beban” sebagai salah satu unsur pembentuk kebudayaan. Menjadi bagian dari sistem budaya, sistem sosial, dan unsur-unsur kebudayaan fisik. Dalam sistem ekonomi seperti terwujud dalam kegiatan bekerja misalnya, terejawantah sebagai konsep-konsep, rencana-rencana, kebijakan dan kebijaksanaan, serta adat istiadat yang berhubungan dengan ekonomi. Maujud dalam tindakan-tindakan dan interaksi berpola antara produsen, tengkulak, pedagang, ahli transportasi, pengecer dengan konsumen. Yang dalam sistem ekonomi ditopang dengan peralatan, komoditas, dan benda-benda ekonomi.


Hal tersebut mencakup tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu: Bahasa, Sistem pengetahuan, Organisaso sosial, Sistem peralatan hidup dan teknologi, Sistem mata pencaharian hidup, Sistem religi, dan Kesenian. Sepertihalnya kelahiran manusia modern sejak era Homo erectus dan Homo sapiens yaitu manusia dengan kemahiran teknologi dan inovasi, kecakapan artistik, kesadaran mawas-diri, dan rasa moral.

Kerja sebagai bagian dari sistem ekonomi dianggap sebagai salah satu unsur pembentuk kebudayaan. Tidak demikian dengan waktu senggang, setidaknya dalam pemahaman umum. Bekerja yang dilihat dengan tiga ciri mendasar, yakni dalam aktivitasnya terdapat kepaduan dan ketegangan antara kapasitas dan kapabilitas untuk bertindak, kesiapan untuk menderita, dan kemampuan menempatkan kerja sebagai media peleburan diri yang total dalam kehidupan dan organisasi sosial, demi mencari makna kehidupan. Bila waktu senggang dipahami dalam konteks nilai-nilai kerja seperti itu, maka waktu senggang akan tampak bagai kemalasan (laziness, idleness, sloth) yang dalam dunia pembangunan kedengarannya imoral.

Lalu terjadi tegangan antara berkantor dan kerja dari rumah, keluyuran dengan berkutat di rumah, nongkrong di café atau warung dengan menyeduh sendiri kopi di rumah, semua serba harus di rumah. Barangkali bahkan bisa bekerja tanpa mengenakan dasi dan bersarung sahaja. Jajaran merk yang biasa menempel dari ujung kepala sampai kaki hanya berserak. Jadi nampak seperti berhala belaka. Memisahkan aku,  keakuan lalu pengakuan.  “Aku bermerk maka aku ada.”, seperti menampar-nampar bak nyiur melambai. Mestinya menghadirkan kesadaran baru dalam kredo “New Normal”, apakah kita sungguh butuh itu selama ini? Atau demi menyantuni mata yang memandang agar kemudian terpandang? Sementara fashion ke depan bisa jadi lebih melibatkan masker penangkal virus.

Termasuk juga merefleksikan apa sesungguhnya waktu senggang itu? Kreativitas itu? Akankah lahir budaya baru, seperti apa?

Juga komunikasi antar budaya yang mesti dibangun bersama. Saat ada yang berkeras ingin beribadah berjamaah pun berbelanja baju baru di saat himbauan #DiRumahSaja kala pandemi melanda. Bagaimana agar Cebong, tak hanya bisa mengobrol dengan Kampret, tapi juga dengan Unicorn serta Panda dan kawan sang Ksatria Naga lalu berdamai dengan Corona. Termasuk berdamai dengan waktu senggang?

Sementara menurut Aquinas: ”kemalasan justru adalah kegagalan menggauli waktu senggang, dan kehilangan kejedaan menyebabkan pengkultusan terhadap kerja, karena kerja dipandang hanya sebagai demi kerja semata”.

Waktu senggang kini tak banyak berkaitan dengan reflektivitas atau kontemplasi. Lebih menekankan pada rekreasi. Yang di dalamnya itu orang pergi, ke luar diri, menuju perangkap-perangkap eksterior: tempat-tempat wisata, mal, bahkan luar negeri. Eksterioritas menguasai keseharian, didorong oleh kemajuan teknologi dan informasi, mengepung kita dengan imaji dan sensasi yang nampak memesona.

Alam semesta yang terhampar tak lagi sublim dan hanya jadi histeria belaka. Menawarkan imaji berantai yang sesungguhnya itu-itu saja, tanpa alasan mendasar, bahkan tanpa makna dan acuan. Melulu menggoda dan memompa adrenalin tanpa ujung. Penuh nafsu untuk (berusaha) viral bersahutan.

Corona bisa jadi sebuah alegori, lambang atau kias dari peri kehidupan manusia yang sebenarnya. Lalu, perlukah redefinisi waktu senggang?



*Foto direkam sejauh mata memandang saat PSBB di Jakarta. Dengan kamera bersistem m4/3 dengan lensa 25mm dan 75-300mm.

Tulisan (niatnya) bersambung 😃



Bebacaan:
1. Asal-usul Manusia, Richard Leakey. 
2. Fashion Sebagai Komunikasi, Malcolm Barnard.
3. Kebudayaan dan Waktu Senggang, Fransiskus Simon.
4. Pengantar Ilmu Antropologi, Koentjaraningrat.
5. Roti Semiotik Yang Memadai, Arip Senjaya.

Rabu, 13 Maret 2019

GENETIKA KEBODOHAN (?)

"Ibumu kan guru, kamu mesti bisa."

"Ini saya koreksi ulangan anaknya, jawabannya kok gak nyambung ya. Ibunya kan pinter, mesti dari bapaknya ini."

Betul Pak Guru, sebagai bapaknya saya mengakui. Mungkin pula genetis. Bapak saya juga guru, saat sekolah khususnya SMP dan SMA dulu saya juga "suram". Walau saat SD relatif jagoan lho: nyaris selalu juara 1 di kelas, ikut cerdas cermat P4 Mbah Harto, dan Medali Perak Porseni Bulutangkis tingkat kabupaten.

Kuliah? Lumayanlah, walau tak cumlaude bisa jadi bekal nguli di Ibu Kota. Sekaligus bayar hutang atas kesuraman saat sekolah sebelumnya.

Beruntungnya saat SMA ada guru Seni Rupa yang sering menyelamatkan saya dari keengganan di kelas Biologi. Jurusan yang dipilih dengan pertimbangan yang penting tidak di Sosial (IPS). Lebih pada memuaskan ego orang tua karena mungkin dirasa keren sebagai anak IPA. Padahal saya kemudian sadar betul bahwa saya sesungguhnya sangat IPS.

Saya sering ditugaskan Pak Ripto untuk ikut lomba gambar mewakili sekolah walau tak pernah menang sama sekali.  Terhindar dari keangkeran guru BP yang macam PamSwakarsa itu.

"Daripada kowe males neng kelas, yo to?", canda Pak Ripto diiringi seulas senyum di wajahnya yang kaku.

Dengan bekal corat-coret itulah saya kemudian kuliah desain dan lalu fotografi di Yogyakarta selepas SMA. Sialnya, sebagai murid yang badung, selepas kuliah profesi pertama saya adalah menjadi pengajar, tak lama berselang baru jadi pewarta foto. Mungkin kutukan.
Berawal dari dorongan keprihatinan seorang kawan soal tak jelasnya pengajaran fotografi di kampusnya. Jadilah saya nekat mengajar, sempat pula menjadi asisten seorang dosen desain di Bandung. Hatur nuhun pisan ya Kang..

Profesi ini terus berlanjut hingga kini, tanpa putus. Jadi kutukan yang saya nikmati. Termasuk pasrah jika ada mahasiwa yang memperlakukan saya seperti kebadungan saya dulu ke guru. Memang kualat.

Andai semua guru saya tak berupaya mengenali bahkan  memilih "membunuh" potensi saya, tentu ceritanya akan beda. Mungkin saja saya jadi "the lost generation", istilah yang saya dengar dari dosen saya dulu untuk menyemangati kami muridnya agar benar-benar jadi manusia sebenarnya. Bukan jadi "bocah ilang" atau "orang-orangan".

Terima kasih pada semua guru yang telah mengajarkan nilai-nilai, tak hanya (memberi) nilai.

Lahul Fatihah katur penjenengan Pak Ripto. 🙏

Jumat, 01 Desember 2017

Coretan Lomba Foto

Saya langsung menyatakan kesediaan saat Mas Budi Barkah, Ketua Komunitas Fotografer Banyumas, menawarkan untuk turut menjadi juri pada lomba foto Festival Kinerja Pembangunan Kabupaten Banyumas 2017. Berat melewatkan kesempatan untuk menyantap mendoan asli di tanah kelahirannya. ☺ Walau waktu belum dipastikan, terlebih terkait jadwal mengajar di UIN dan UMN. Saya hanya meminta jika memungkinkan jatuh di Senin atau Selasa, karena Rabu dan Kamis ngoceh di kampus. Sementara kawan-kawan Bappeda hanya berkenan di hari kerja, tak bisa di akhir pekan. Maklum PNS.


Mengalir sampai jauh di Kereta Api Bengawan. :)
Lebih seru lagi perjalanan kali ini ditemani Bung Ardiles Akyuwen, yang rupanya seperti saya ketagihan ngadem di Purwokerto selepas dulu ia ikut nongkrong mengawal Logawa Photo Workshop. Kami naik kereta api Bengawan di Minggu siang. Sore saat sampai disambut rintik hujan dan Mas Budi bersama Riza “Otong” yang berbaik hati menjemput. Berboncengan kami meluncur ke sekretariat AJI Purwokerto di daerah Pabuwaran.

Markas jurnalis independen itu cukup besar, apalagi kalau untuk sekedar menumpang tidur dan nampaknya itu yang seringkali terjadi. Saat saya sampai ada seorang aktivis dari Jakarta yang sudah beberapa hari disana untuk penelitian di pesisir Selatan Jawa. Melahirkan obrolan yang mengalir ke beragam topik dengan tak lupa mendoan dan pisang kipas, terhidang seiring kopi. Penganan ini disponsori oleh Bu Lurah Logawa Dian Aprilia.

Keesokan harinya kami dijamu Kang Reza GO, salah satu juri juga, mampir ke Curug Bayan. Kulakan oksigen judulnya. Karena sebelumnya sudah sarapan gudeg di Pasar Manis jadilah hanya menyeruput teh, dan kopi susu sebagai penghangat. Hujan kembali mengguyur saat meluncur ke lokasi penjurian.

Disana sudah hadir Mas Andre, dan dua juri dari Bappeda. Diiringi hujan yang kian deras penjurian dimulai. Foto yang berjumlah 320 dari 91 fotografer ditampilkan keseluruhan secara cepat terlebih dahulu. Lalu kami meminta juri dari internal untuk memberikan arahan tentang kriteria foto yang dicari dan adakah kiranya foto yang tidak pas dengan tema. Saya menanyakan tentang pembangunan double track oleh KAI, apakah itu termasuk? Karena secara kuantitas dan tampilan cukup mencolok dan ternyata karena lokasi proyek di Banyumas bisa masuk dalam tema lomba walau itu proyek pemerintah pusat. Dengan argumentasi bahwa efeknya akan dirasakan oleh warga.

Penerjemahan tema bahkan secara spesifik seperti ini untuk mempermudah kerja penjurian dan jika ada semacam komplain di kemudian hari ada alasan yang kuat dari penyelenggara dan juri tentunya. Idealnya lagi jika gambaran apa yang masuk (atau tidak) dalam tema dijelaskan di pengumuman lomba.


Kira-kira demikianlah..
Saya mengusulkan cara penilaian dengan dua kolom tabel yang berisi nomer urut foto peserta dan kolom kosong di sebelahnya tempat juri memberi tanda bagi foto yang dipilih. Sehingga foto tampil anonim. Gaya ini saya praktikkan bersama kawan-kawan juri lain saat Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2017 di Jakarta dengan total 5485 karya yang masuk.

Berikutnya dijumlah foto-foto yang paling banyak dipilih kelima juri, keempat juri, dan seterusnya. Jika foto yang dipilih kelima juri sudah melebihi jumlah pemenang maka foto-foto ini yang akan dinilai ke babak berikutnya. Jika banyak bisa dinilai kembali dengan gaya tabel seperti sebelumnya atau pemberian skor oleh juri untuk masing-masin foto lalu dijumlahkan nilai akhirnya.

Mayoritas foto menerjemahkan “pembangunan” secara verbal, serba fisik, dan kasatmata. Padahal bisa saja terkait SDM seperti pendidikan dan kesehatan. Beberapa bahkan mengirim foto sebuah bangunan yang nampak sekali baru selesai dibangun, begitu saja tanpa aktivitas. Jadi seperti brosur perumahan. ☺ Ada juga yang lebih cermat dengan membuat perbandingan “lama dan baru” pada sebuah jembatan penghubung desa. Sayangnya eksekusi secara teknis belum maksimal, tersandung hal mendasar persoalan pencahayaan. Terkait hal ini bahkan ada yang mengirim foto under exposure. Duh..

Apapun, teknis (pemotretan) adalah kendaraan untuk menyampaikan ide. Termasuk jangan lupakan waktu pemotretan jika terkait bangunan atau taman misalnya. Karena tentu akan berpengaruh pada jatuhnya cahaya, bayangan, detail, kontras, dan warna langit sebagai latar.   

Ada satu kasus menarik saat ada sebuah foto yang masuk final kategori umum terpaksa didrop lewat kejelian salah satu juri. Foto yang menampilkan anak-anak yang sedang bermain di sebuah infrastruktur pengairan, setelah diperbesar (zoom in) tangannya mengacungkan jari tengah. Duh..kids jaman now. Akhirnya foto ini bahkan tak mungkin ikut tampil dalam pameran yang dicadangkan untuk 30 foto terpilih. Kejelian sang juri juga musti menular pada sang fotografer saat memotret atau akan mengirimkan foto untuk lomba dengan tema tertentu.

Untuk kategori pelajar nampak sekali bahwa kawan-kawan muda ini belum terlampau siap berkompetisi. Foto yang masuk ke final hanya 5 untuk mencari 4 pemenang dari 29 peserta dengan total 76 karya. Pertarungan kurang seru. Bahkan ada yang fotonya terpaksa didrop dan ganti saat final karena setelah diperbesar pecah. Ternyata ukurannya memang kecil dan ini menyalahi syarat soal ukuran foto yang musti dikirim. Entah memang itu ukuran aslinya, diperkecil untuk memudahkan pengiriman, atau ketidakpahaman soal aturan lomba. Satu lagi ada aroma dijepret atau diedit dengan (aplikasi) telepon genggam (HP). Bukan tak boleh memakai HP, tapi taat prasyarat itu kudu, karena judulnya adalah lomba.

Saya usulkan ke panitia jika berikutnya kategori pelajar akan tetap digelar musti ada penyiapan dini agar potensi mereka bisa dibangkitkan lebih maksimal. Misal lewat tur ke sekolah-sekolah dengan judul sosialisasi lomba lewat pelatihan foto berkala dan berkelanjutan. Termasuk mengundang pihak sekolah saat pengenugerahan pemenang agar ada perhatian pada siswanya yang berprestasi dan terhadap fotografi.


Mewakili dewan juri saya menyerahkan hasil penjurian
kepada Bapak Eko Prijanto, Kepala Bappeda didampingi
perwakilan juri Mas Andre (kiri) dan Kang Reza GO.
Hasil sebuah lomba (foto) saya yakin hanya akan memuaskan hati segelintir peserta, terutama sang juara. Sisanya kekecewaan yang merajalela. ☺ Jika sebelumnya, konon lebih pada foto bangunan yang menang dan kini dirasa lebih human interest tentu ini tak lepas dari komposisi juri dan karya yang berbeda pula dari tahun sebelumnya. Jika ingin bermain aman, kirimlah beberapa pendekatan foto. ini yang biasa saya lakukan saat ikut lomba. Misal masing-masing satu foto untuk pembangunan (fisik), pendidikan, kesehatan, dan budaya, seperti tercermin pada pemanang kali ini.

Semoga sebagai sebuah proses, termasuk catatan sederhana yang mencoba mengambil secuil peran ini, menjadi pembelajaran bersama. Bagi penyelenggara, peserta, terutama saya pribadi. Mari terus berproses dengan gembira. ☺

* Terima kasih untuk kawan-kawan KFB, Kelompok Logawa, AJI Purwokerto, dan KedaiKoe  untuk segala keramahtamahan selama di Purwokerto. Juga kawan-kawan yang berkenan hadir saat Juguran selepas penjurian.

Sabtu, 02 September 2017

Pameran “Merdeka Sehari” dan Deretan Para Mantan

Arina Mocca dijepret dengan Lumix G85+45-200mm
Semalam sepulang dari lokasi pameran di Gandaria City Mall, sembari menyusuri Jl. Fatmawati yang penuh gejolak, terlintas dalam benak tentang mereka yang terlibat dalam hajatan ini. Tujuh belas partisipan pameran adalah para mantan. Terdiri dari lima mantan rekan kerja di harian Jurnal Nasional (Jurnas), delapan mantan mahasiswa dari dua kampus (Polimedia dan UIN), dua mantan peserta workshop yang saya ampu, dan satu lagi panitia workshop itu yang sudah dua kali digelar di Purwokerto. Sang panitia ini sama-sama mantan penghuni Yogyakarta saat menimba ilmu dulu, namun saat itu belum saling kenal karena kebetulan memang beda kampus. Seorang mantan kawan kuliah juga yang menawarkan untuk terlibat dalam pameran “ngemall” ini.

Lima mantan rekan di Jurnas itu kini tersebar di: Jakarta Post, kantor berita Xinhua, Kemendes, harian Suara Merdeka, dan yang terakhir menjadi vokalis group Tangga masih barengan ngajar di UMN. Belum rela jadi mantan walau mengajar di jurusan yang berbeda.
Saya, Dede, dan Agung (XinHua) berfoto bersama sang vokalis. 
Dua mantan mahasiswa juga tersesat bekerja di media: jadi (calon) reporter Tempo dan cameramen di ElshintaTV. Satu lagi sedang ngotot mengadu peruntungan untuk menembus kerasnya dunia media, jika ada yang mencari pemuda berbakat dan berdedikasi tinggi dialah orangnya. Silahkan kontak saya. Oiya..kawan-kawan muda ini insya Allah juga calon menantu yang baik. Selebihnya dua orang menjadi fotografer independen, seorang foodbloger, satu lagi baru saja sidang TA, yang bontot sedang menunggu dilamar sang kekasih yang bekerja di luar pulau skripsi tentang semiotika.

Dua peserta workshop adalah alumni Unsoed Purwokerto, yang satu baru saja wisuda sedang sebelahnya jadi pengusaha persewaan kamera di Purwokerto dan Salatiga. Tak bantu promo ya Kang Reza. Nah..peserta paling bontot adalah aktifis Kamera Lubang Jarum sekaligus terlibat di manajerial sebuah hotel di Purwokerto.

Banyak mantan lain yang juga hadir di lokasi pameran. Kebanyakan mantan mahasiswa. Bahkan ada yang kini telah bekerja Liputan6 SCTV ikut jagain booth hingga malam sembari menikmati mantan saya yang lain, Arina Mocca, berdendang di panggung utama.

Weee…mantan pacar?? Tentu bukan, hanya mantan teman kuliah. Wajahnyapun tak mirip, wong kawan saya ini laki-laki. Hanya saja dulu kalau doi datang terlambat diledekin sedang membersihkan Clarinet pacarnya yang anak jurusan musik. Hehehe… Pokoke semua dimantankan agar sesuai dengan ide tulisan.

Sejujurnya saya tak menikmati lagunya Mocca..persolan selera saja. Tapi saya bersyukur bisa sepanggung dengan mereka. Bedanya saya (tentu) bukan bernyanyi, tapi ngoceh sekejap tentang photo story dan dengan penonton yang lebih sedikit. Hehehe.. Penonton setia saya adalah mantan pacar yang kemarin juga datang bersama anak-anak untuk nonton bapaknya nyangkul..

Oiya..pameran masih berlangsung hari ini. Terima kasih yang sudah berkenan mampir dan membeli kartu pos “Dasa Pancasila” yang tersedia disana. Mari bersama bermantanria.


Sabtu, 26 Agustus 2017

Kawan dan Kamera Terbaik

Semakin dewasa dan menua biasanya kawan bermain seperti masa kanak-kanak akan jauh berkurang kuantitas dan intensitasnya. Tentu saja menjadi hal yang normal tatkala dunia dewasa kian dipenuhi banyak urusan, keluarga dan kerja salah dua yang utama. Terlebih yang tinggal di kota besar seperti Jakarta yang membuat jarak menjadi jauh karena waktu tempuh.

Saat belajar hingga bangku kuliah kita bisa runtang-runtung keluyuran kesono-kemari berjamaah. Teringat dulu saya dan beberapa kawan biasa berhujan-hujan dan nyolong mangga di pinggir jalan yang terlewati. Hiburan di sela tugas kuliah yang mblengeri; salah duanya adalah sketsa dan gambar bentuk.

Kini kontak dengan kawan lama dari SD hingga kuliah terhubung lewat media sosial dan group WA. Kebanyakan jadi perbincangan basa-basi dan ramai saat akan ada kopdar atau reunian. Banyak yang tergabung tapi hanya segelintir orang, itu-itu saja, yang bercuit. Bahkan ada yang itu-itu saja postingannya: ajakan sholat Shubuh berjamaah. Sungguh konsistensi yang luar biasa dan tentu bagus. Membuat kompetisi untuk saling mendahului membangunkan dan mengingatkan. ☺

Ada lagi yang tak pernah kehabisan bahan renungan. Kiriman ke group selalu diawali dengan “renungan pagi/siang/malam” tergantung waktu. Kadang diselingi renungan petang, sudah seperti nama acara berita di stasiun televisi. Mari merenungi diri sepanjang waktu.

Soal kecepatan viralnya peristiwa, group WA berani diadu dengan breakingnews portal media. Lengkap dengan video laporan langsung dari tempat kejadian. Bahkan keberanian mendekati peristiwa pun tak kalah militan dibanding reporter televisi. Mereka ini terlatih langsung di lapangan tanpa banyak teori reportase di dalam kelas jurnalistik. Jangan lupakan juga gelindingan bola salju hoax yang juga menyertai di satu sisi.

Akhirnya, pada praktiknya, beberapa group WA disunyikan. Tergabung karena “jiwa korsa” dan tentu sungkan jika “left” karena dianggap mengkhianatinya dan beresiko diculik.

Kamera terbaik adalah yang ada di tanganmu.
Baik dari membeli atau meminjam.
Syukur-syukur awalnya diminta nyobain dengan gratis. 
Kawan yang kemudian terseleksi dan masih terus runtang-runtung ya itu-itu saja, walau sesekali ada figuran yang nimbrung. Yang masih saling bantu saat pameran, menengok saat salah satu “anggota” melahirkan, dan diskusi beragam hal dari tanaman hingga video 4K (bukan 3gp lagi).


Di balik itu semua ada kawan saling pijit dan kero’an terbaik, sekaligus kawan keluyuran terbaik, kawan berduka terbaik dan kawan nonton terbaik, bahkan untuk film yang ia kurang suka. Serba terbaik. Ada satu lagi yang khusus untuk saya: ia juga kawan beli kamera terbaik, karena doi menteri keuangannya. Hehehe..terima kasih selalu ya Neng..☺