Rabu, 23 Agustus 2017

Kolaborasi Lintas Batas

Tajuk itu diangkat untuk menandai milad Kamera Lubang Jarum Indonesia (KLJI) ke 15 pada 17 Agustus 2017. Dipusatkan di Museum Seni Rupa dan Keramik, di kawasan Kota Tua Jakarta mulai 13-17 Agustus kemarin. Tumben pada kesempatan ini saya diberi ruang untuk turut terlibat, padahal saya bukan pelaku KLJ, hanya memang pada awal belajar fotografi kebetulan melewati era analog. Kang Ray Bachtiar Drajat, sang kuncen KLJI, beberapa hari sebelumnya, selewat tengah malam mengundang untuk turut berpameran dan diskusi terkait photo story. Nah..celah inilah yang memberi saya ruang untuk nyelip. ☺ Nuhun Kang..
Bentang Kenangan (2017)
Lalu pertimbangan berseliweran, untuk pajang foto yang mana, termasuk dari beberapa kawan yang saya tanya. Sempat terpikir foto perjalanan ke Mentawai, juga liputan tentang masyarakat adat Bonokeling di Banyumas yang sudah saya kerjakan selama setidaknya tiga tahun tahun.  

Akhirnya pilihan jatuh pada story tentang rumah tinggal orang tua, tempat saya dilahirkan dan tujuan mudik sejak merantau selepas sekolah dasar hingga kini tinggal di Jakarta. Foto-foto itu sebagian kecil dari kumpulan yang saya rekam sejak 2014 saat sesekalu pulang kampung. Seperti memunguti serpihan-serpihan kenangan. Lebih ringan dan keseharian sehingga barangkali memberi ide pada pemirsa untuk mulai merekam dan membangun cerita dari lingkungan terdekat. Tak kudu berpatokan tempat eksotis atau peristiwa dengan isu yang besar yang barangkali sulit untuk diakses. Foto foto “garda belakang” atau tegangan (sangat) rendah kalau ikut terminologi Bang Erik Prasetya dalam buku On Street.

Kang Ray di tengah persiapan pameran.
Membuat bangunan cerita dengan jumlah foto lebih dari satu butuh pembiasaan. Jamaknya, kita berbelanja foto untuk mencari foto (tunggal) terbaik. Sehingga saat diminta portfolio hanya akan jadi kumpulan foto tunggal yang beresiko tidak padu atau tanpa benang merah. Semakin banyak foto, semakin banyak pula cerita disampaikan. Sekaligus saling melengkapi, logika sederhananya demikian. Photo story mempunyai bentuk dan elemen dalam bertutur. Dalam konteks ini kemudian ada yang menerjemahkannya sebagai foto bertutur atau foto (ber)cerita. Kang Ray mengajukan istilah foto berkisah sebagai photo story yang khas membahas tentang budaya Indonesia. Sebagai upaya mencari visualisasi ala Indonesia sekaligus berkejaran dengan waktu merekam tradisi dan budaya negeri yang laju digerus jaman.

Andai ini menjadi kesadaran bersama akan menjadi gerakan yang dahsyat. Saya kenal beberapa fotografer yang mengabdikan hidup di “jalan pedang” nan terjal ini. Selain Kang Ray sendiri bisa disebut beberapa diantaranya: Om Don Hasman dengan salah satu rekaman monumentalnya tentang Baduy dan Refi Mascot dengan kerucut idenya mendokumentasikan tato tradisi bahkan dengan medium tubuhnya sendiri, tak hanya lewat jepretan rana. Saya banyak belajar dari nama-nama itu, seperti meminta petunjuk pada Refi saat akan ke Mentawai dua tahun silam. Sekaligus saling menyemangati di jalan perekaman yang panjang dan sunyi.

Adakah yang tertarik mengikuti jejak mereka untuk blusukan di lebat belantara?

Mari mulai (belajar) dari yang terdekat. Rasakan setiap hembus angin, bau tanah basah, dan kilau keringat yang tercucur. Mungkin disana hadir jiwa perekaman yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar