Tajuk itu diangkat untuk menandai milad Kamera Lubang Jarum
Indonesia (KLJI) ke 15 pada 17 Agustus 2017. Dipusatkan di Museum Seni Rupa dan
Keramik, di kawasan Kota Tua Jakarta mulai 13-17 Agustus kemarin. Tumben pada
kesempatan ini saya diberi ruang untuk turut terlibat, padahal saya bukan
pelaku KLJ, hanya memang pada awal belajar fotografi kebetulan melewati era
analog. Kang Ray Bachtiar Drajat, sang kuncen KLJI, beberapa hari sebelumnya, selewat
tengah malam mengundang untuk turut berpameran dan diskusi terkait photo story. Nah..celah inilah yang
memberi saya ruang untuk nyelip. ☺ Nuhun Kang..
Bentang Kenangan (2017) |
Lalu pertimbangan berseliweran,
untuk pajang foto yang mana, termasuk dari beberapa kawan yang saya tanya.
Sempat terpikir foto perjalanan ke Mentawai, juga liputan tentang masyarakat
adat Bonokeling di Banyumas yang sudah saya kerjakan selama setidaknya tiga
tahun tahun.
Akhirnya pilihan jatuh pada
story tentang rumah tinggal orang tua, tempat saya dilahirkan dan tujuan mudik
sejak merantau selepas sekolah dasar hingga kini tinggal di Jakarta. Foto-foto
itu sebagian kecil dari kumpulan yang saya rekam sejak 2014 saat sesekalu
pulang kampung. Seperti memunguti serpihan-serpihan kenangan. Lebih ringan dan
keseharian sehingga barangkali memberi ide pada pemirsa untuk mulai merekam dan
membangun cerita dari lingkungan terdekat. Tak kudu berpatokan tempat eksotis
atau peristiwa dengan isu yang besar yang barangkali sulit untuk diakses. Foto
foto “garda belakang” atau tegangan (sangat) rendah kalau ikut terminologi Bang
Erik Prasetya dalam buku On Street.
Kang Ray di tengah persiapan pameran. |
Membuat bangunan cerita dengan jumlah foto lebih dari satu
butuh pembiasaan. Jamaknya, kita berbelanja foto untuk mencari foto (tunggal)
terbaik. Sehingga saat diminta portfolio hanya akan jadi kumpulan foto tunggal
yang beresiko tidak padu atau tanpa benang merah. Semakin banyak foto, semakin
banyak pula cerita disampaikan. Sekaligus saling melengkapi, logika
sederhananya demikian. Photo story mempunyai bentuk dan elemen dalam bertutur. Dalam
konteks ini kemudian ada yang menerjemahkannya sebagai foto bertutur atau foto
(ber)cerita. Kang Ray mengajukan istilah foto berkisah sebagai photo story yang
khas membahas tentang budaya Indonesia. Sebagai upaya mencari visualisasi ala
Indonesia sekaligus berkejaran dengan waktu merekam tradisi dan budaya negeri
yang laju digerus jaman.
Andai ini menjadi kesadaran bersama akan menjadi gerakan
yang dahsyat. Saya kenal beberapa fotografer yang mengabdikan hidup di “jalan
pedang” nan terjal ini. Selain Kang Ray sendiri bisa disebut beberapa diantaranya:
Om Don Hasman dengan salah satu rekaman monumentalnya tentang Baduy dan Refi
Mascot dengan kerucut idenya mendokumentasikan tato tradisi bahkan dengan
medium tubuhnya sendiri, tak hanya lewat jepretan rana. Saya banyak belajar
dari nama-nama itu, seperti meminta petunjuk pada Refi saat akan ke Mentawai dua
tahun silam. Sekaligus saling menyemangati di jalan perekaman yang panjang dan
sunyi.
Adakah yang tertarik mengikuti jejak mereka untuk blusukan di lebat belantara?
Mari mulai (belajar) dari yang terdekat. Rasakan setiap
hembus angin, bau tanah basah, dan kilau keringat yang tercucur. Mungkin disana
hadir jiwa perekaman yang sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar