Sohib sesama kombatan di harian Jurnal Nasional dulu, Agung
Kuncahya Bayuaji yang sekarang dinas di Kantor Berita Xin Hua mengundang untuk
turut memantik diskusi di gelaran pameran foto Anushka di Bandung. Pameran yang
digelar oleh kawan-kawan Pewarta Foto Indonesia Bandung ini diadakan di Gedung Indonesia
Menggugat, diskusi berlangsung pada Senin sore 24 Juli 2017. Oiya..Agung adalah
mentor sekaligus kurator dari pameran ini.
Diskusi sekilas tentang photo story. |
Diiringi hujan deras sekilas diskusi berlangsung hangat,
jadi obrolan santai yang saling mewarnai. Saya dapat banyak gambaran tentang
beberapa isu terkini yang terjadi di Bandung dan Jawa Barat umumnya. Tempat kawan-kawan
pameris ini tinggal dan berkarya, juga wilayah saya keluyuran liputan saat dulu
bergabung di harian Republika perwakilan Jawa Barat pada 2001-2003. Bandung, selain Jogja
tempat saya kuliah selama enam tahun, dan tentu Ngawi sebagai kota kelahiran
selalu menghadirkan cerita sekaligus kenangan. Iya..kenangan dengan kamu..iya..
kamuu.. ☺
Dulu media sosial (medsos) tak semasif dan masal seperti sekarang.
Liputan sebuah berita tak sesederhana dulu, kini setiap warga merasa diri
menjadi seorang reporter (jurnalis warga) yang berbekal telepon pintar dan medsos menjadi muara yang (seharusnya) sangat
demokratis. Yang membedakan adalah kredibilitas media dan tentu sang reporter
itu sendiri. Jurnalis warga sering jauh lebih unggul secara kecepatan, tapi
seringkali kedodoran soal keakuratan. Hal yang wajar karena memang bukan
berdisiplin jurnalis yang musti mendalami berita dengan (re)konfirmasi dan
verifikasi.
“Yah..ada kecoak di
kamar mandi..!! Cepet lihat Yah..!!”, teriak si bungsu menginterupsi tulisan
ini. Beginilah kalau pekerja rumahan. ☺ Lanjut lagi yaa..
Kelebihan dalam disiplin untuk mengolah (nilai) berita itu
yang harus terus dan makin diperkuat oleh kawan jurnalis. Dalam konteks
fotografi bisa dalam bentuk memperhatikan detail peristiwa dalam (bangunan) cerita
yang direncanakan dan ikuti. Bisa jadi di lapangan ditemukan banyak konten dan
konteks baru, bahkan menghasilkan bahan cerita yang lain pula. Jadi kudu membiasakan
diri membuka mata dan telinga untuk menggali hal-hal baru dan mencermati segala
sesuatu yang seringkali nampak sepele bahkan secara visual. Bahkan “foto receh”
sekalipun bisa jadi foto utama Kompas, tulis Arbayn Rambey.
Hal itu saya rasa juga tercermin dari buku “Split Second,
Split Moment” karya alharhum Julian Sihombing, rekan sealmamater Bang Arbain di
Kompas. Bang Jul, demikian saya biasa menyapanya, memotret beragam hal
sederhana namun sesungguhnya sarat makna. Bahkan saat dicermati kini. Foto-foto
dalam buku itu seperti mengisahkan wajah kita dulu. Mulai dari peristiwa
keseharian, portrait tokoh, politik, hingga olahraga, termasuk foto legendaris
peristiwa kerusuhan 1998.
Buku ini saya dapat (lagi) dari menitip beli, lewat kebaikan seorang kawan Facebook yang mengirimkannya dari Padang, Sumatera Barat. Berselang dua hari sepulang
dari Anushka ini nongol di rumah. Buku sebelumnya entah terselip dimana atau ada yang meminjam lalu
rasa memilikinya cukup tinggi. ☺ Bisa juga berniat membantu menyimpankan karena tahu rumah saya mungil dan sudah
terjejali buku dan printilan motor tua.
Beberapa foto “sederhana” dalam buku Bang Jul juga
mengingatkan pada buku dwilogi “Ekspresi” karya almarhum Ali Said. Bang Ali
adalah mantan redaktur foto di harian Republika tempat saya sempat magang pada 1996.
Sosok khas dengan kretek Dji Sam Soe, tas kamera Domke gede, dan Nikon F3
ber-MD4. Waktu itu selepas Maghrib saya selalu menunggu lambaian tangannya untuk
mendekat sembari membawa klise foto hasil jepretan hari itu. Lalu..layaknya
film kungfu klasik..sang guru mengomeli sang murid yang masih saja bebal dalam
mempraktikkan jurus yang diajarkan. Hari-hari itu, senja sungguh meneror.
Dari sosok-sosok tersebut saya banyak belajar. Bahwa demikianlah
seharusnya fotojurnalis. Ia kudu mau mencatat jaman melalui rekaman pandangnya.
Tak hanya pada peristiwa besar di garda depan tapi juga ceceran di belakang
layar, figuran-figuran, dan wajah-wajah serta suara-suara yang terpinggirkan,
diabaikan panggung media yang gemerlap penuh agenda. Saat sebuah foto tak dimuat,
buku dan mungkin pameran adalah muara alternatif. Tempat dimana fotojurnalis
menyatakan sikap dan keberpihakannya.
Al Fatihah untuk Bang Jul dan Bang Ali..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar