Rabu, 02 Agustus 2017

Julian Sihombing dan Anushka

Sohib sesama kombatan di harian Jurnal Nasional dulu, Agung Kuncahya Bayuaji yang sekarang dinas di Kantor Berita Xin Hua mengundang untuk turut memantik diskusi di gelaran pameran foto Anushka di Bandung. Pameran yang digelar oleh kawan-kawan Pewarta Foto Indonesia Bandung ini diadakan di Gedung Indonesia Menggugat, diskusi berlangsung pada Senin sore 24 Juli 2017. Oiya..Agung adalah mentor sekaligus kurator dari pameran ini.

Diskusi sekilas tentang photo story.
Diiringi hujan deras sekilas diskusi berlangsung hangat, jadi obrolan santai yang saling mewarnai. Saya dapat banyak gambaran tentang beberapa isu terkini yang terjadi di Bandung dan Jawa Barat umumnya. Tempat kawan-kawan pameris ini tinggal dan berkarya, juga wilayah saya keluyuran liputan saat dulu bergabung di harian Republika perwakilan Jawa Barat pada 2001-2003. Bandung, selain Jogja tempat saya kuliah selama enam tahun, dan tentu Ngawi sebagai kota kelahiran selalu menghadirkan cerita sekaligus kenangan. Iya..kenangan dengan kamu..iya.. kamuu.. ☺

Dulu media sosial (medsos) tak semasif dan masal seperti sekarang. Liputan sebuah berita tak sesederhana dulu, kini setiap warga merasa diri menjadi seorang reporter (jurnalis warga) yang berbekal telepon pintar dan  medsos menjadi muara yang (seharusnya) sangat demokratis. Yang membedakan adalah kredibilitas media dan tentu sang reporter itu sendiri. Jurnalis warga sering jauh lebih unggul secara kecepatan, tapi seringkali kedodoran soal keakuratan. Hal yang wajar karena memang bukan berdisiplin jurnalis yang musti mendalami berita dengan (re)konfirmasi dan verifikasi.

“Yah..ada kecoak di kamar mandi..!! Cepet lihat Yah..!!”, teriak si bungsu menginterupsi tulisan ini. Beginilah kalau pekerja rumahan. ☺ Lanjut lagi yaa..

Kelebihan dalam disiplin untuk mengolah (nilai) berita itu yang harus terus dan makin diperkuat oleh kawan jurnalis. Dalam konteks fotografi bisa dalam bentuk memperhatikan detail peristiwa dalam (bangunan) cerita yang direncanakan dan ikuti. Bisa jadi di lapangan ditemukan banyak konten dan konteks baru, bahkan menghasilkan bahan cerita yang lain pula. Jadi kudu membiasakan diri membuka mata dan telinga untuk menggali hal-hal baru dan mencermati segala sesuatu yang seringkali nampak sepele bahkan secara visual. Bahkan “foto receh” sekalipun bisa jadi foto utama Kompas, tulis Arbayn Rambey.

Hal itu saya rasa juga tercermin dari buku “Split Second, Split Moment” karya alharhum Julian Sihombing, rekan sealmamater Bang Arbain di Kompas. Bang Jul, demikian saya biasa menyapanya, memotret beragam hal sederhana namun sesungguhnya sarat makna. Bahkan saat dicermati kini. Foto-foto dalam buku itu seperti mengisahkan wajah kita dulu. Mulai dari peristiwa keseharian, portrait tokoh, politik, hingga olahraga, termasuk foto legendaris peristiwa kerusuhan 1998.

Buku ini saya dapat (lagi) dari menitip beli, lewat kebaikan seorang kawan Facebook yang mengirimkannya dari Padang, Sumatera Barat. Berselang dua hari sepulang dari Anushka ini nongol di rumah. Buku sebelumnya entah terselip dimana atau ada yang meminjam lalu rasa memilikinya cukup tinggi. ☺ Bisa juga berniat membantu menyimpankan karena tahu rumah saya mungil dan sudah terjejali buku dan printilan motor tua.

Beberapa foto “sederhana” dalam buku Bang Jul juga mengingatkan pada buku dwilogi “Ekspresi” karya almarhum Ali Said. Bang Ali adalah mantan redaktur foto di harian Republika tempat saya sempat magang pada 1996. Sosok khas dengan kretek Dji Sam Soe, tas kamera Domke gede, dan Nikon F3 ber-MD4. Waktu itu selepas Maghrib saya selalu menunggu lambaian tangannya untuk mendekat sembari membawa klise foto hasil jepretan hari itu. Lalu..layaknya film kungfu klasik..sang guru mengomeli sang murid yang masih saja bebal dalam mempraktikkan jurus yang diajarkan. Hari-hari itu, senja sungguh meneror.

Dari sosok-sosok tersebut saya banyak belajar. Bahwa demikianlah seharusnya fotojurnalis. Ia kudu mau mencatat jaman melalui rekaman pandangnya. Tak hanya pada peristiwa besar di garda depan tapi juga ceceran di belakang layar, figuran-figuran, dan wajah-wajah serta suara-suara yang terpinggirkan, diabaikan panggung media yang gemerlap penuh agenda. Saat sebuah foto tak dimuat, buku dan mungkin pameran adalah muara alternatif. Tempat dimana fotojurnalis menyatakan sikap dan keberpihakannya.

Al Fatihah untuk Bang Jul dan Bang Ali.. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar