Waktu senggang ditafsirkan dengan beragam sikap atau
pendekatan. Ada yang menganggapnya negatif, sebagai sebuah bentuk kemalasan,
sehingga tak perlu ada dan mesti diisi dengan sebuah kegiatan atau bekerja. Sedangkan
bagi yang sudah merasa sedemikian sibuk, harus mencari waktu untuk
disenggangkan guna jadi oase atau jeda rehat di luar kegiatan rutin yang padat
merayap. Pada dua kondisi tersebut waktu senggang dilihat sebagai sebuah celah
atau sela belaka di antara “pendewaan” akan kerja. Sedangkan kini saat pandemi Corona melanda, situasi menjadi terbalik,
waktu senggang merajai, bahkan tak sedikit yang tetiba nirkerja.
Secara normatif kerja mempunyai “beban” sebagai salah satu
unsur pembentuk kebudayaan. Menjadi bagian dari sistem budaya, sistem sosial,
dan unsur-unsur kebudayaan fisik. Dalam sistem ekonomi seperti terwujud dalam
kegiatan bekerja misalnya, terejawantah sebagai konsep-konsep, rencana-rencana,
kebijakan dan kebijaksanaan, serta adat istiadat yang berhubungan dengan
ekonomi. Maujud dalam tindakan-tindakan dan interaksi berpola antara produsen,
tengkulak, pedagang, ahli transportasi, pengecer dengan konsumen. Yang dalam sistem
ekonomi ditopang dengan peralatan, komoditas, dan benda-benda ekonomi.
Hal tersebut mencakup tujuh unsur kebudayaan universal,
yaitu: Bahasa, Sistem pengetahuan, Organisaso sosial, Sistem peralatan hidup
dan teknologi, Sistem mata pencaharian hidup, Sistem religi, dan Kesenian. Sepertihalnya kelahiran manusia modern sejak era Homo erectus dan Homo sapiens
yaitu manusia dengan kemahiran teknologi dan inovasi, kecakapan artistik, kesadaran mawas-diri, dan rasa moral.
Kerja sebagai bagian dari sistem ekonomi dianggap sebagai salah
satu unsur pembentuk kebudayaan. Tidak demikian dengan waktu senggang,
setidaknya dalam pemahaman umum. Bekerja yang dilihat dengan tiga ciri
mendasar, yakni dalam aktivitasnya terdapat kepaduan dan ketegangan antara
kapasitas dan kapabilitas untuk bertindak, kesiapan untuk menderita, dan
kemampuan menempatkan kerja sebagai media peleburan diri yang total dalam
kehidupan dan organisasi sosial, demi mencari makna kehidupan. Bila waktu
senggang dipahami dalam konteks nilai-nilai kerja seperti itu, maka waktu
senggang akan tampak bagai kemalasan (laziness,
idleness, sloth) yang dalam dunia pembangunan kedengarannya imoral.
Lalu terjadi tegangan antara berkantor dan kerja dari rumah,
keluyuran dengan berkutat di rumah, nongkrong di cafΓ© atau warung dengan
menyeduh sendiri kopi di rumah, semua serba harus di rumah. Barangkali bahkan
bisa bekerja tanpa mengenakan dasi dan bersarung sahaja. Jajaran merk yang
biasa menempel dari ujung kepala sampai kaki hanya berserak. Jadi nampak
seperti berhala belaka. Memisahkan aku, keakuan lalu pengakuan. “Aku bermerk maka aku ada.”, seperti menampar-nampar
bak nyiur melambai. Mestinya menghadirkan kesadaran baru dalam kredo “New Normal”, apakah kita sungguh butuh
itu selama ini? Atau demi menyantuni mata yang memandang agar kemudian
terpandang? Sementara fashion ke
depan bisa jadi lebih melibatkan masker penangkal virus.
Termasuk juga merefleksikan apa sesungguhnya waktu senggang
itu? Kreativitas itu? Akankah lahir budaya baru, seperti apa?
Juga komunikasi antar budaya yang mesti dibangun bersama. Saat
ada yang berkeras ingin beribadah berjamaah pun berbelanja baju baru di saat
himbauan #DiRumahSaja kala pandemi melanda. Bagaimana agar Cebong, tak hanya
bisa mengobrol dengan Kampret, tapi juga dengan Unicorn serta Panda dan kawan
sang Ksatria Naga lalu berdamai dengan Corona. Termasuk berdamai dengan waktu senggang?
Sementara menurut Aquinas: ”kemalasan justru adalah
kegagalan menggauli waktu senggang, dan kehilangan kejedaan menyebabkan
pengkultusan terhadap kerja, karena kerja dipandang hanya sebagai demi kerja
semata”.
Waktu senggang kini tak banyak berkaitan dengan reflektivitas
atau kontemplasi. Lebih menekankan pada rekreasi. Yang di dalamnya itu orang pergi,
ke luar diri, menuju perangkap-perangkap eksterior: tempat-tempat wisata, mal, bahkan
luar negeri. Eksterioritas menguasai keseharian, didorong oleh kemajuan teknologi
dan informasi, mengepung kita dengan imaji dan sensasi yang nampak memesona.
Alam semesta yang terhampar tak lagi sublim dan hanya jadi histeria
belaka. Menawarkan imaji berantai yang sesungguhnya itu-itu saja, tanpa alasan mendasar,
bahkan tanpa makna dan acuan. Melulu menggoda dan memompa adrenalin tanpa ujung.
Penuh nafsu untuk (berusaha) viral bersahutan.
Corona bisa jadi sebuah alegori, lambang atau kias dari peri kehidupan
manusia yang sebenarnya. Lalu, perlukah redefinisi waktu senggang?
*Foto direkam sejauh mata memandang saat PSBB di Jakarta. Dengan kamera bersistem m4/3 dengan lensa 25mm dan 75-300mm.
Tulisan (niatnya) bersambung π
Bebacaan:
1. Asal-usul Manusia, Richard Leakey.
2. Fashion Sebagai Komunikasi, Malcolm Barnard.
3. Kebudayaan dan Waktu Senggang,
Fransiskus Simon.
4. Pengantar Ilmu Antropologi, Koentjaraningrat.
5. Roti Semiotik Yang Memadai, Arip Senjaya.
Kereen pakππ
BalasHapusTerima kasih. ππΌπ
HapusMataku tertuju pada tas ELLE yang bertahta di atas seng... :)
BalasHapus