Rabu, 13 Maret 2019

GENETIKA KEBODOHAN (?)

"Ibumu kan guru, kamu mesti bisa."

"Ini saya koreksi ulangan anaknya, jawabannya kok gak nyambung ya. Ibunya kan pinter, mesti dari bapaknya ini."

Betul Pak Guru, sebagai bapaknya saya mengakui. Mungkin pula genetis. Bapak saya juga guru, saat sekolah khususnya SMP dan SMA dulu saya juga "suram". Walau saat SD relatif jagoan lho: nyaris selalu juara 1 di kelas, ikut cerdas cermat P4 Mbah Harto, dan Medali Perak Porseni Bulutangkis tingkat kabupaten.

Kuliah? Lumayanlah, walau tak cumlaude bisa jadi bekal nguli di Ibu Kota. Sekaligus bayar hutang atas kesuraman saat sekolah sebelumnya.

Beruntungnya saat SMA ada guru Seni Rupa yang sering menyelamatkan saya dari keengganan di kelas Biologi. Jurusan yang dipilih dengan pertimbangan yang penting tidak di Sosial (IPS). Lebih pada memuaskan ego orang tua karena mungkin dirasa keren sebagai anak IPA. Padahal saya kemudian sadar betul bahwa saya sesungguhnya sangat IPS.

Saya sering ditugaskan Pak Ripto untuk ikut lomba gambar mewakili sekolah walau tak pernah menang sama sekali.  Terhindar dari keangkeran guru BP yang macam PamSwakarsa itu.

"Daripada kowe males neng kelas, yo to?", canda Pak Ripto diiringi seulas senyum di wajahnya yang kaku.

Dengan bekal corat-coret itulah saya kemudian kuliah desain dan lalu fotografi di Yogyakarta selepas SMA. Sialnya, sebagai murid yang badung, selepas kuliah profesi pertama saya adalah menjadi pengajar, tak lama berselang baru jadi pewarta foto. Mungkin kutukan.
Berawal dari dorongan keprihatinan seorang kawan soal tak jelasnya pengajaran fotografi di kampusnya. Jadilah saya nekat mengajar, sempat pula menjadi asisten seorang dosen desain di Bandung. Hatur nuhun pisan ya Kang..

Profesi ini terus berlanjut hingga kini, tanpa putus. Jadi kutukan yang saya nikmati. Termasuk pasrah jika ada mahasiwa yang memperlakukan saya seperti kebadungan saya dulu ke guru. Memang kualat.

Andai semua guru saya tak berupaya mengenali bahkan  memilih "membunuh" potensi saya, tentu ceritanya akan beda. Mungkin saja saya jadi "the lost generation", istilah yang saya dengar dari dosen saya dulu untuk menyemangati kami muridnya agar benar-benar jadi manusia sebenarnya. Bukan jadi "bocah ilang" atau "orang-orangan".

Terima kasih pada semua guru yang telah mengajarkan nilai-nilai, tak hanya (memberi) nilai.

Lahul Fatihah katur penjenengan Pak Ripto. 🙏

Tidak ada komentar:

Posting Komentar