Rabu, 03 Juni 2020

Miksang Yang Sang-seng

“Kok cuma gitu (doang)?!?”

Jangan-jangan nyaris semua foto dikomentari dengan nada yang sama. Apakah itu salah? Tentu tidak. Mungkin karena merasa sudah sedemikian mumpuni dalam karya dan kritik. Tapi mesti diingat, bisa jadi bekalnya adalah “mumpuni”, bahwa ia menguasai keahlian (kecakapan, keterampilan) tinggi. Setelah mampu melaksanakan (tugas) keahliannya itu dengan baik. Menurut saya itu berlaku baik dalam (pembuatan) karya dan dalam kritik. Saat di “kamar gelap” maupun di “kamar terang”.

Kalau tidak mumpuni apakah tidak boleh berkomentar? Ya tetap boleh, tapi mesti hati-hati terkait konteks. Apalagi jika di media sosial yang nirtatap muka yang tanpa nada (intonasi) yang bisa jadi merubah arti. Terlebih jika tidak berbekal, khawatir jadi komentator ala “ndelok” (melihat). Kependekan dari bahasa Jawa: kendele (beraninya) alok (komentar), alias beraninya komentar (doang). Masa belum pernah mencangkul, kok mengomentari hasil mencangkul orang lain. Apalagi (sok) menggurui dan menghakimi liyan.

Di sisi lain biasanya saat semakin dianggap mumpuni, seseorang akan semakin merasa tidak mumpuni. Tidak sok jago. Kian berisi, kian merunduk karena merasa bahwa di atas langit masih ada langit. Semakin banyak membaca, malah semakin banyak menghadirkan ketidaktahuan dan rasa penasaran.

Saya jadi teringat cerita sebuah dialog, yang diceritakan guru saat sekolah:
“Fotomu ini jelek. Yang itu, itu, dan itu, juga jelek.”
“Terus bagusnya bagaimana?”
“Kamu yang pikirin lah, kan karya kamu!”

Kalau dialog semacam itu dilanjutkan, hanya akan berujung pada tarik urat bahkan otot. Pethenthengan dan penthung-penthungan kata orang Jerman (Jejere Kauman).

Nah, sekarang saya mohon ijin ikut ndelok soal Miksang. Kenapa judulnya pakai Sang-seng? Dalam bahasa Jawa itu berarti bau yang tercium kuat, sesekali datang dan pergi seperti saat terhembus angin. Soal bau ini bisa wangi atau juga sebaliknya, busuk. Jadi saya tidak menghakimi bau Miksang, hanya merasakan fenomena aroma sang-seng itu tadi. Mohon tidak disalah pahami. (Ngati-ati tenan lho aku iki. Wedi yen dijotosi.)

Karena sang-seng tadi untuk saya beberapa kali terhidu sebagai pethenthengan dan sebenarnya itu baik adanya. Semakin terjadi dialog, harapannya tidak terjadi penthung-pentungan dan menuju satu titik temu walau itu bertajuk “sepakat untuk tidak bersepakat.” Memang diperlukan keterbukaan pikiran. Mengkhawatirkan jika kita menghakimi tanpa mengenal dan melihat dengan (banyak) perspektif yang lebih luas. Sepertihalnya pemahaman umum dalam pewayangan bahwa Buto (raksasa) Cakil adalah melulu jahat dalam Perang Kembang. Mencegat dan mengganggu perjalanan ksatria di tengah hutan. Padahal bisa jadi Cakil sedang menjalankan tugas sebagai Jaga Wana alias Ranger atawa Penjaga Hutan. Tak menutup kemungkinan bukan kalau ksatria adalah pembabat hutan? Setidaknya ia memberikan ijin HPH.

Kalau dirunut argumentasi soal Miksang, rasanya relatif jelas. Saya kutip-rangkumkan dari jawaban Dody S Mawardi yang sering digugat tentang hal tersebut, diantaranya:
“Miksang Kontempalif itu tidak sama dengan asal jepret yang diartikan seperti memejamkan mata lalu njepret ke segala arah (membabi buta?). Karena Miksang mensyaratkan interaksi mata lalu masuk ke ranah heart (hati).” Seperti saat jatuh cinta pada pandangan pertama? ;)
Foto Miksang adalah personal. Fotografer tidak punya kuasa apapun terhadap persepsi viewer. Viewer bebas untuk merasakan. Bukan memaknai. Miksang bukan untuk dimaknai. Bukan pula untuk mencari pemaknaan. Beda dengan fotografi biasa yang cenderung menyampaikan story atau pesan.
“Berarti foto Miksang hanya untuk diri sendiri, bukan untuk banyak orang?”
Ya...Miksang adalah personal experience.
Miksang adalah karya yang sangat basic... Betul-betul di luar teori fotografi. Jadi andai nanti ada perdebatan tentang ini saya kira ndak perlu terjadi.”
Di lain waktu ada penjelasan: “Miksang adalah kemampuan menyerap kemurnian fenomena visual tanpa ada pemaknaan. Ndelok sing gak perlu dipikir.Merasakan dan turut merasakan bagi pemirsa.

Dalam konteks itu saya merasakan ketersesaatan yang ekspresif dalam memotret. Mengekspresikan diri. Apakah menyerupai pendekatan (aliran) Ekspresionisme? Dimana cita-cita ekspresionisme ialah pembebasan seniman dari kaidah seni akademik dan mengandalkan kepada dorongan yang bersumber dari dalam pribadi, suatu pemuasan diri (self-enjoyment). Memiliki kecenderungan untuk pembebesan diri (individualisasi) dalam berekspresi. Pribadi sadar akan pengorbanan diri, introspekdi dan menjauhkan diri. Jika “digugat” lebih jauh, apakah  juga menolak tradisi akademik, Realisme, dan Impresionisme?

Itu yang saya rasa, bisa saja salah. Demi kemudahan pribadi mencerna dalam konteks visualisasi. Karena kalau bicara Dharma atau Sufisme belum gaduk alias ketinggian. Saya pribadi dalam memotret masih banyak mempraktikkan “melihat, berpikir, dan merasakan”, demi membangun pesan. Mungkin karena latar saya sebagai orang yang lebih banyak memotret dengan konteks Jurnalistik-Dolumenter. Walaupun mungkin gambarnya juga seringkali tak jelas juga. Namanya juga masih terus belajar.

Ada juga yang mendekati Miksang secara lebih religius(?). Bahwa ini adalah juga merupakan laku meditasi. Suatu pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Sesuatu itu apa? Menurut saya karena ini personal jadi bisa apa saja, misalkan ketenangan batin. Dalam laku ritual, ini seperti zikir memakai tasbih, ada pula berdoa dengan rosario atau pendekatan lain. Menjadi pilihan medium yang merdeka.

Dalam ketersesaatan pemusatan pikiran dan perasaan melepaskan semua kenangan (masa lalu) dan rintangan masa depan. Hati nurani hanya sadar tentang (kemurnian) masa kini. Hal yang bisa ditemukan atau cari dari bunga, batu, kupu-kupu, dan hal lainnya. Sesekali mencari kebenaran. Keindahan (sejati) terdapat dalam pencarian (itu sendiri). Bukan pada apa yang ditemukan. Ketersesaatan juga menjadi momen menikmati sepersekian detik ke-hidup-an.
Jadi “jangan ditanya kemana aku pergi”, dendang Kris Biantoro. Tidak pula soal apa maksudnya. Mari kita rasakan dan rayakan ketersesaatan setiap tarikan napas. Dengan cara yang kita yakini masing-masing.
Mohon maafkan, saya juga baru bisa “ndelok”. Silahkan tegur sapanya.

Tanjung Barat, Jaksel, 3 Juni 2020 14:11.
*Foto adalah pemanis halaman belaka. Bukan berintensi bahwa ini (contoh) foto Miksang. Hanya mencoba turut merasakan ketersesatan akan ketersesaatan itu. Foto dijepret sekali, tanpa edit (SOOC), dan tanpa mengatur objek pemotretan.


2 komentar:

  1. Yang jelas foto pemanis bukan bukan pemanis buatan. Sae sanget. Thanks untuk indepth review nya mas.... seketika saya ingin menyelam lagi. Maturnuwon

    BalasHapus
  2. Hmm captionnya panjang banget mau bikin cerpen pak

    BalasHapus