“Kok cuma gitu (doang)?!?”
Jangan-jangan nyaris semua foto dikomentari dengan nada yang
sama. Apakah itu salah? Tentu tidak. Mungkin karena merasa sudah sedemikian
mumpuni dalam karya dan kritik. Tapi mesti diingat, bisa jadi bekalnya adalah
“mumpuni”, bahwa ia menguasai keahlian (kecakapan, keterampilan) tinggi.
Setelah mampu melaksanakan (tugas) keahliannya itu dengan baik. Menurut saya
itu berlaku baik dalam (pembuatan) karya dan dalam kritik. Saat di “kamar
gelap” maupun di “kamar terang”.
Kalau tidak mumpuni apakah tidak boleh berkomentar? Ya tetap
boleh, tapi mesti hati-hati terkait konteks. Apalagi jika di media sosial yang
nirtatap muka yang tanpa nada (intonasi) yang bisa jadi merubah arti. Terlebih
jika tidak berbekal, khawatir jadi komentator ala “ndelok” (melihat). Kependekan dari bahasa Jawa: kendele (beraninya) alok (komentar), alias beraninya komentar (doang). Masa belum
pernah mencangkul, kok mengomentari hasil mencangkul orang lain. Apalagi (sok)
menggurui dan menghakimi liyan.
Di sisi lain biasanya saat semakin dianggap mumpuni,
seseorang akan semakin merasa tidak mumpuni. Tidak sok jago. Kian berisi, kian
merunduk karena merasa bahwa di atas langit masih ada langit. Semakin banyak
membaca, malah semakin banyak menghadirkan ketidaktahuan dan rasa penasaran.
Saya jadi teringat cerita sebuah dialog, yang diceritakan
guru saat sekolah:
“Fotomu ini jelek. Yang itu, itu, dan itu, juga jelek.”
“Terus bagusnya bagaimana?”
“Kamu yang pikirin lah, kan karya kamu!”
Kalau dialog semacam itu
dilanjutkan, hanya akan berujung pada tarik urat bahkan otot. Pethenthengan dan penthung-penthungan kata orang Jerman (Jejere Kauman).
Nah, sekarang saya mohon ijin ikut ndelok soal Miksang. Kenapa judulnya
pakai Sang-seng? Dalam bahasa Jawa
itu berarti bau yang tercium kuat, sesekali datang dan pergi seperti saat
terhembus angin. Soal bau ini bisa wangi atau juga sebaliknya, busuk. Jadi saya
tidak menghakimi bau Miksang, hanya merasakan fenomena aroma sang-seng itu tadi. Mohon tidak disalah pahami. (Ngati-ati
tenan lho aku iki. Wedi yen dijotosi.)
Karena sang-seng tadi untuk saya beberapa kali terhidu sebagai pethenthengan dan sebenarnya itu baik
adanya. Semakin terjadi dialog, harapannya tidak terjadi penthung-pentungan dan menuju satu titik temu walau itu bertajuk
“sepakat untuk tidak bersepakat.” Memang diperlukan keterbukaan pikiran. Mengkhawatirkan
jika kita menghakimi tanpa mengenal dan melihat dengan (banyak) perspektif yang
lebih luas. Sepertihalnya pemahaman umum dalam pewayangan bahwa Buto (raksasa)
Cakil adalah melulu jahat dalam Perang Kembang. Mencegat dan mengganggu perjalanan
ksatria di tengah hutan. Padahal bisa jadi Cakil sedang menjalankan tugas
sebagai Jaga Wana alias Ranger atawa
Penjaga Hutan. Tak menutup kemungkinan bukan kalau ksatria adalah pembabat
hutan? Setidaknya ia memberikan ijin HPH.
Kalau dirunut argumentasi soal
Miksang, rasanya relatif jelas. Saya kutip-rangkumkan dari jawaban Dody S
Mawardi yang sering digugat tentang hal tersebut, diantaranya:
“Miksang Kontempalif itu tidak sama dengan asal jepret yang diartikan
seperti memejamkan mata lalu njepret ke
segala arah (membabi buta?). Karena
Miksang mensyaratkan interaksi mata lalu masuk ke ranah heart (hati).”
Seperti saat jatuh cinta pada pandangan pertama? ;)
“Foto Miksang adalah personal. Fotografer tidak punya kuasa apapun
terhadap persepsi viewer. Viewer bebas untuk merasakan. Bukan
memaknai. Miksang bukan untuk dimaknai. Bukan pula untuk mencari pemaknaan.
Beda dengan fotografi biasa yang cenderung menyampaikan story atau pesan.”
“Berarti foto Miksang hanya untuk
diri sendiri, bukan untuk banyak orang?”
“Ya...Miksang adalah personal
experience.”
“Miksang adalah karya yang sangat basic... Betul-betul
di luar teori fotografi. Jadi andai
nanti ada perdebatan tentang ini saya kira ndak
perlu terjadi.”
Di lain waktu ada penjelasan: “Miksang adalah kemampuan menyerap
kemurnian fenomena visual tanpa ada pemaknaan. Ndelok sing gak perlu dipikir.” Merasakan dan turut merasakan
bagi pemirsa.
Dalam konteks itu saya merasakan
ketersesaatan yang ekspresif dalam memotret. Mengekspresikan diri. Apakah
menyerupai pendekatan (aliran) Ekspresionisme? Dimana cita-cita ekspresionisme
ialah pembebasan seniman dari kaidah seni akademik dan mengandalkan kepada
dorongan yang bersumber dari dalam pribadi, suatu pemuasan diri (self-enjoyment). Memiliki kecenderungan
untuk pembebesan diri (individualisasi) dalam berekspresi. Pribadi sadar akan
pengorbanan diri, introspekdi dan menjauhkan diri. Jika “digugat” lebih jauh,
apakah juga menolak tradisi akademik,
Realisme, dan Impresionisme?
Itu yang saya rasa, bisa saja
salah. Demi kemudahan pribadi mencerna dalam konteks visualisasi. Karena kalau bicara Dharma atau Sufisme belum gaduk alias ketinggian. Saya pribadi dalam memotret masih banyak mempraktikkan “melihat,
berpikir, dan merasakan”, demi membangun pesan. Mungkin karena latar saya
sebagai orang yang lebih banyak memotret dengan konteks Jurnalistik-Dolumenter.
Walaupun mungkin gambarnya juga seringkali tak jelas juga. Namanya juga masih
terus belajar.
Ada juga yang mendekati Miksang secara
lebih religius(?). Bahwa ini adalah juga merupakan laku meditasi. Suatu pemusatan
pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Sesuatu itu apa? Menurut saya karena
ini personal jadi bisa apa saja, misalkan ketenangan batin. Dalam laku ritual,
ini seperti zikir memakai tasbih, ada pula berdoa dengan rosario atau
pendekatan lain. Menjadi pilihan medium yang merdeka.
Dalam ketersesaatan pemusatan
pikiran dan perasaan melepaskan semua kenangan (masa lalu) dan rintangan masa
depan. Hati nurani hanya sadar tentang (kemurnian) masa kini. Hal yang bisa
ditemukan atau cari dari bunga, batu, kupu-kupu, dan hal lainnya. Sesekali
mencari kebenaran. Keindahan (sejati) terdapat dalam pencarian (itu sendiri).
Bukan pada apa yang ditemukan. Ketersesaatan juga menjadi momen menikmati sepersekian
detik ke-hidup-an.
Jadi “jangan ditanya kemana aku
pergi”, dendang Kris Biantoro. Tidak pula soal apa maksudnya. Mari kita rasakan
dan rayakan ketersesaatan setiap tarikan napas. Dengan cara yang kita yakini
masing-masing.
Mohon maafkan, saya juga baru bisa “ndelok”.
Silahkan tegur sapanya.
Tanjung
Barat, Jaksel, 3 Juni 2020 14:11.
*Foto
adalah pemanis halaman belaka. Bukan berintensi bahwa ini (contoh) foto
Miksang. Hanya mencoba turut merasakan ketersesatan akan ketersesaatan itu.
Foto dijepret sekali, tanpa edit (SOOC), dan tanpa mengatur objek pemotretan.
Yang jelas foto pemanis bukan bukan pemanis buatan. Sae sanget. Thanks untuk indepth review nya mas.... seketika saya ingin menyelam lagi. Maturnuwon
BalasHapusHmm captionnya panjang banget mau bikin cerpen pak
BalasHapus